Massa membakar lukisan profil Lim Sioe Liong dan istrinya. Jalan Angkasa, Jakarta. 14 Mei 1998..
Sumber :
  • sumber: alpha.matawaktu.org/Foto: Oscar Motuloh

25 Tahun Reformasi: Cerita Dari Balik Lensa, Oscar Motuloh: Saat Itu Seperti Ada Dendam Yang Tak Tertampung Hukum

Kamis, 18 Mei 2023 - 11:35 WIB

Jakarta, tvOnenews.com-Fotografi mengabadikan ingatan, dalam kebekuan dan kediamannya,  selembar foto mampu menghadirkan masa lalu seolah tetap hidup hari ini. Begitu juga saat kita memandangi kumpulan foto yang merekam peristiwa Mei 1998. Salah satu foto yang sangat ikonik menggambarkan proses jatuhnya Soeharto adalah sepotong foto karya inisiator Galeri Foto Jurnalistik Antara Oscar Motuloh. Sepotong gambar lukisan berobyek Lim Sioe Liong dan istrinya tengah diangkat seseorang warga dalam rusuh massa.

Separuh lukisan, hangus dilalap api, menyisakan separuh wajah sang taipan. Sementara pada latar belakang, asap tebal membumbung ke angkasa. Dua orang lainnya di belakang lukisan nampak mengepalkan tangan ke atas, seperti merayakan sesuatu.

Foto Empu Ageng Fotografi itu terasa menggugah. Foto ini dengan sangat simbolik bisa menggambarkan hubungan pribumi dengan nonpribumi pada masa Orde Baru misalnya, atau hubungan Soeharto dengan pengusaha saat itu. Melihat lagi foto Oscar saat ini seperti diajak berimajinasi dan mengenang situasi krusial dalam sejarah Indonesia tersebut.

“Menurut gue ada semacam kesumat, dendam yang belum bisa diterjemahkan dengan baik oleh undang undang dan hukum pemerintah pada waktu itu,” ujar Oscar yang kini menginisiasi lembaga visual dan fotografi Matawaktu. Ditemui di sebuah ruko di kawasan niaga Fatwamati, Jakarta Selatan yang kini disulap menjadi galeri foto, Oscar menceritakan moment moment bersejarah 25 tahun lalu.

Berikut wawancara dengan Oscar Motuloh, Empu Ageng Fotografi yang menginisiasi Galeri Foto Jurnalistik Antara (GFJA):

Sebuah foto yang diambil Bung Oscar saat reformasi, lukisan taipan Liem Sioe Liong tengah dibakar massa sangat ikonik. Bagaimana proses mendapatkan gambar itu?

Itu sebetulnya gue sebagai reporter foto, tapi harus mengkoordinasi teman teman fotografer lain, mayoritas tenaga muda. Mereka semua sudah dapat penugasan. Ada yang ke daerah kota, ke Grogol, Ke Pasar Minggu, ke titik titik kerusuhan yang banyak sekali ketika itu. 

Gue tadinya ngeliput di sekitar kawasan Medan Merdeka, sekitar monas. Karena kerumunan terus bergeser, akhirnya  sampailah ke daerah Mangga Dua. Sampailah ke rumah Liem Sioe Liong. Ini kan jadi semacam simbol hubungan kroni Orde Baru. Gue ngeliat dan nongkrong di situ. hanya feeling aja, tiba tiba mereka masuk ke dalam rumah, dan mengeluarkan seluruh barang barang dan mulai membakar.

Menurut gue ada semacam kesumat, dendam yang belum bisa diterjemahkan dengan baik oleh undang undang dan hukum pemerintah pada waktu itu. Jadi yang ada hanya amuk saja. Kita juga tidak tahu, apakah hanya mereka, atau orang orang di sekitar itu yang mengendalikannya.

Berdasarkan fakta di lapangan bagaimana situasinya? Itu kemarahan spontan?

Kalau gue lihat, spontan sih spontan, tetapi kan gak mungkin melihat orang berani masuk bangunan, bakar sana, rusak sini, kalau itu dilakukan orang awam. Jika melihat kasat mata memang kurang lebih seperti itu, spontan.  

Ada cerita lain yang berkesan di sekitar Mei 1998?

Karena tugas gue lebih banyak urus anak anak, jadi tidak terlalu penuh di lapangan. Perhatian gue memantau anak anak biar selamat.  Jadi ada hal yang lebih penting selain gambar gambar yang mereka peroleh sebagai fakta. 

Bagaimana perlakuan tentara ketika itu pada fotografer?

Tidak ada intimidasi, justru kita harus hati hati. Saat itu keamanan justru hilang, kita tak melihat ada pengamanan. Gue gak tahu ya jika berpakaian preman. 

Saat itu kan kerusuhan ada di puluhan titik, satu juta orang diduga terjun ke lokasi rusuh, bagaimana bisa meliput itu semua?

Kebetulan saat itu banyak rekrutan baru, fotografer muda yang bergairah di lapangan. Mereka juga bergaul dengan luas karena mereka baru lulus dan punya kontak dengan banyak orang. Mereka bisa mendapat informasi dari teman kampusnya sendiri, dari teman wartawan  Istana, bahkan dari intelijen. Ini sebenarnya akibat hubungan kekerabatan, semua ngumpul bersama di Galeri Foto Jurnalistik Antara (GFJA) setelah dari lapangan. kita saling melihat hasil foto dari lapangan. Ketika itu belum ada hoax loh. 

Bagaimana refleksi setelah 25 tahun reformasi?

Kira kira refleksinya, saat ini kita tidak ke mana mana, tidak ada bosnya. Stagnan. Sayang jika gerakan reformasi yang punya nilai luhur, belum bisa dilaksanakan hingga hari ini. Kita berharap ke depannya pesan gerakan reformasi ini hidup kembali, diadaptasi generasi muda.(bwo)

Berita Terkait :
Topik Terkait
Saksikan Juga
03:09
02:18
02:44
01:52
03:52
04:05
Viral