- ANTARA
Polisi Enggan Terapkan UU TPKS, DPR Desak Pemerintah Terbitkan Aturan Teknis
Jakarta, tvOnenews.com - Komisi III DPR RI meminta Pemerintah segera menerbitkan aturan turunan pelaksana Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).
Menurut Anggota Komisi III DPR RI, Didik Mukrianto, aturan teknis UU TPKS akan menjadi jaminan kepastian hukum dalam pengusutan kasus-kasus kekerasan seksual yang masih marak terjadi.
“Kasus kekerasan seksual cenderung meningkat dan menjadi sebuah keprihatinan. Saat ini kita berpotensi menghadapi situasi darurat kekerasan seksual, sehingga harus ada gerak cepat dari Pemerintah,” kata Didik, Selasa (6/6/2023).
Didik melihat, implementasi UU TPKS belum efektif lantaran belum ada aturan teknisnya.
Menurutnya, kasus kekerasan seksual di Indonesia bisa menjadi fenomena gunung es dan sumber permasalahan yang lebih besar jika tidak segera tertangani dengan baik.
“Untuk itu saya berharap agar Pemerintah segera memprioritaskan penyelesaian aturan teknis UU TPKS ini agar penegakan hukumnya bisa maksimal dan optimal,” tuturnya.
Menurut Didik, substansi dalam UU TPKS cukup komprehensif dalam penanganan kasus-kasus kekerasan seksual karena sudah mencakup berbagai pengaturan.
“Pengaturan-pengaturan dalam UU TPKS idealnya mampu untuk memberikan perlindungan hukum dan jaminan kepastian hukum terkait dengan berbagai kasus kekerasan seksual," ujarnya.
Dia menilai, lewat UU TPKS, penyidik kepolisian secara hukum harus menerima pengaduan perkara kekerasan seksual dalam bentuk apapun.
Namun begitu, penanganan kasus kekerasan seksual belum sepenuhnya dapat bergantung pada regulasi tersebut.
"Padahal dengan UU TPKS, penyidik kepolisian tidak boleh menolak perkara kasus kekerasan seksual atas alasan apapun,” ucapnya.
Didik pun menyoroti banyaknya laporan dari pendamping korban kekerasan seksual mengenai penolakan penyidik kepolisian menggunakan UU TPKS meski sebenarnya sudah dapat diterapkan.
Hal ini merujuk pada surat telegram Kapolri nomor ST/1292/VI/RES.1.24/2022 yang meminta semua Kapolda di Indonesia memerintahkan semua institusi kepolisian di semua wilayah untuk menegakkan UU TPKS.
"Pada praktiknya, banyak ditemukan penyidik kepolisian menolak menggunakan UU TPKS dengan berbagai alasan," kata dia.
"Mulai dari menunggu Peraturan Pemerintah (PP)-nya, belum ada petunjuk pelaksanaan (juklak) dan petunjuk teknis (juknis) dari institusinya, hingga alasan lebih nyaman dengan aturan yang sudah ada sebelumnya," paparnya.
Politikus Partai Demokrat ini menegaskan bahwa penerbitan aturan teknis ini dapat menghindari keengganan penyidik menerapkan UU TPKS dalam kasus kekerasan seksual.
Dia mengatakan, penegak hukum masih kerap merespons kasus kekerasan seksual tanpa menggunakan paradigma perlindungan korban.
Oleh karenanya, Didik mengatakan, dibutuhkan penerapan UU TPKS agar ada pengakuan dan jaminan hak-hak korban kekerasan seksual.
“UU TPKS memastikan hak korban atas penanganan, perlindungan dan pemulihan dalam tindak pidana kekerasan seksual dapat terpenuhi,” ucapnya.
Untuk itu, Didik meminta Pemerintah dapat menyegerakan penerbitan aturan teknis UU TPKS mengingat sudah semakin banyak kasus kekerasan seksual terjadi.
“Dengan lahirnya aturan teknis, tidak ada alasan lagi dari penegak hukum untuk tidak menerapkan UU TPKS yang berorientasi kepada korban. Kami mendesak Pemerintah untuk cepat menerbitkan aturan turunan UU TPKS,” ujarnya.
Perlu diketahui, berdasarkan laporan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), terdapat sebanyak 11.016 kasus kekerasan seksual pada tahun 2022.
Dari jumlah tersebut, kasus kekerasan seksual terhadap anak mencapai 9.588, atau naik dari tahun sebelumnya yang berjumlah 4.162 kasus.
Sementara, Komisi nasional (Komnas) Perempuan mencatat, kasus kekerasan seksual menjadi yang terbanyak dilaporkan pada tahun 2022.
Terdapat 2.228 kasus yang memuat kekerasan seksual atau 65 persen dari total 3.422 kasus kekerasan berbasis gender.
Legislator dari Dapil Jawa Timur IX mengingatkan, data-data tersebut belum mencakup kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi tahun ini.
“Seperti kita ketahui, banyak kasus kekerasan seksual terjadi beberapa waktu belakangan. Diperlukan penyelesaian yang baru dalam menghadapi maraknya kasus kekerasan seksual karena cara yang lama tidak membawa penurunan angka kasus," ungkapnya.
Dia menambahkan, penyelesaian kasus pelecehan atau kekerasan seksual di Indonesia memerlukan perhatian yang lebih dari Pemerintah dan pihak kepolisian. Terlebih, mayoritas korban kekerasan seksual adalah perempuan dan anak.
“Penanganan kasus kekerasan seksual tidak cukup hanya dengan menangkap pelaku. Dan saya optimistis UU TPKS bisa mengakhiri budaya kekerasan dan dapat mewujudkan kesetaraan gender serta zero tolerance terhadap kekerasan seksual," pungkasnya. (rpi)