- Istimewa
Kritik Pembahasan RPP Kesehatan, Pakar Hukum: Jangan Seperti Kejar Target!
Jakarta, tvOnenews.com - Pembahasan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Undang-undang No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan yang saat ini sedang berlangsung, mendapat perhatian khusus dari para pemerhati hukum.
Pasalnya pembahasan RPP Kesehatan dinilai terburu-buru tanpa memberikan ruang partisipasi publik yang berarti. Pengamat Hukum Universitas Trisakti, Ali Rido memberikan beberapa catatan terkait penyusunan RPP Kesehatan.
“Pertama, RPP Kesehatan tidak boleh disusun secara terburu-buru untuk mengejar target, dan tidak boleh sembrono. Kedua, kembali pada putusan MK No. 91/2020 untuk memenuhi meaningful participation atau melibatkan semua entitas yang akan terdampak dari hulu ke hilir. Semua pihak harus terlibat langsung untuk dimintakan pendapat,” kata Ali.
Dalam penyusunan RPP Kesehatan, Ali menilai perlu keterlibatan berbagai entitas yang terdampak untuk dimintai pendapat dan masukan terkait arah ideal dari aturan turunan ini.
Jika dianggap tidak tepat dari segi politik hukum pemerintah, maka pemerintah patut memberikan alasannya menolak masukan itu.
Senada dengan Ali, pada kesempatan terpisah pakar Perundang-undangan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI), Fitriani Ahlan Sjarif juga menyoroti aspek partisipasi publik dalam proses penyusunan aturan turunan dari UU Kesehatan.
Jika partisipasi publiknya belum cukup, Fitri menilai efektivitas pembuatan aturan tersebut akan kurang memadai.
"Harus dipertimbangkan efektivitas pembuatannya sehingga diharapkan tidak menimbulkan kontroversi ketika diberlakukan dan tidak diragukan penerimaannya oleh publik," kata Fitri (19/9/2023).
- Tembakau Harus Diatur Terpisah
Ali juga menyatakan bahwa pengaturan RPP yang terpisah akan mempermudah jika ke depannya diperlukan revisi kepada aturan tertentu. Terutama aturan yang bergerak secara dinamis seperti pengaturan zat adiktif.
“Ketika itu diatur secara terpisah, tentu lebih elastisitas jika nanti terjadi perubahan. Cukup mengubah satu saja misal PP terkait pengamanan zat adiktif.Yang terpenting kalau kita kembali pada putusan MK No. 91/2020 tentang meaningful particitpation maka perizinannya akan memenuhi syarat putusan tersebut,” kata Ali
Ali menambahkan bahwa mengatur zat adiktif dalam RPP Kesehatan adalah langkah yang tidak tepat. Mestinya semua hal yang ada di dalam RPP Kesehatan merupakan komponen yang terkait langsung dengan transformasi kesehatan nasional, bukan pada tataran pendukung.
Maka dari itu, pasal-pasal yang tidak terkait langsung seperti pengaturan zat adiktif, mesti dikaji ulang posisinya dalam RPP Kesehatan. (aag)