- Freepik
Seberapa Penting Pemanfaatan Pusat Data Nasional dalam Integrasi SPBE?
Jakarta, tvOnenews.com - Di era digital saat ini, Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE ) telah menjadi bagian penting dari operasi pemerintah, baik di pusat maupun daerah.
Dari membayar pajak hingga mengajukan izin, sistem ini telah merampingkan layanan pemerintah, membuatnya lebih efisien dan mudah diakses masyarakat.
Melalui SPBE, masyarakat sekarang akan dengan mudah membayar pajak secara online, mengakses dokumen penting, mengajukan aplikasi, dan berpartisipasi dalam berbagai kegiatan sipil tanpa perlu kehadiran fisik atau dokumen yang berlebihan.
Namun agar SPBE berjalan baik, maka Pusat Data harus dibangun.
Oleh karenanya pemerintah mulai membangun Pusat Data Nasional (PDN).
Lalu muncul pertanyaan, bagaimana pemerintah kemudian bisa menjaga setelah mengumpulkan dan menyimpan serta mengelola data warga agar tetap aman transparan dan juga efisien?
Dalam program tvOne, Inspirasi Pagi, Ika Karlina Idris Associate Professor Public Policy Monash University menjelaskan, bagaimana data dikumpulkan dalam pusat data dan mengapa sangat penting dalam SPBE.
“Pertama memang kita lihat sekarang kan sudah digital semuanya dan data-data yang dikumpulkan atau layanan pemerintah tentu sudah harus berbasis elektronik atau berbasis digital,” jelas Ika.
“Seberapa penting? Tentu penting, karena tidak mungkin lagi pemerintah misalnya mengumpulkan data-data yang sifatnya di kertas,” sambung Ika.
Oleh karenanya pusat data dan SPBE sangatlah penting.
“Idealnya memang ada portal dimana semua layanan tersebut ada di situ, nah di bawahnya tentu kalau ada rumah yang kita perlu yang misalnya di mana data bisa terintegrasi pusat data nasional,” kata Ika.
Oleh karenanya perlu ada sistem yang menghubungan jaringan tersebut.
“Jadi gini kenapa data itu dibutuhkan, pemerintah itu kan punya kewajiban pertama dia punya kewajiban memberikan layanan delivering services. Kan layanan ini di sektor kesehatan, di sektor pendidikan,” jelas Ika.
“Nah kebijakan selama ini harus ada pijakannya. Kenapa kita misalnya memfokuskan kebijakan di sektor A tapi tidak di sektor B gitu misalnya, nah harus ada argumennya ada evidence-nya ada datanya dan yang terakhir yang paling penting juga adalah mengelola resources,” sambung Ika.
Namun Ika menjelaskan, resources yang dimiliki itu terbatas.
Ika pun akhirnya memberikan contoh sebuah kasus yakni kebutuhan air di Indonesia Timur.
“Misalnya di Indonesia Timur, itu ada masalah isu air bersih. Ada daerah yang air bersihnya banyak, ada yang kurang. Nah ini kan harus dikelola agar yang lebih itu bisa disalurkan ke yang kurang,” jelas Ika.
Namun jika tidak ada data maka tidak akan dapat air bersih itu disalurkan.
“Kalau tidak punya data misalnya dimana saja rumah tangga yang kesulitan air bersih, dimana rumah tangga yang misalnya sedang mengalami tantangan karena kemarau panjang gimana nanti dia mau menyalurkan resources,” jelas Ika.
Oleh karenanya pusat data dan SPBE amatlah penting dibangun.
“Karena dengan sistem pemerintahan berbasis elektronik (SPBE) ini, semuanya itu nanti bisa ditrace agar pemerintah bisa lebih efektif dan efisien,” tandas Ika.
Sementara, Derry Tanti Wijaya selaku Direktur Data dan Democracy Research Hub berpendapat SPBE amatlah membuat semua menjadi mudah.
Bayangkan saja Indonesia 10 tahun yang lalu.
“Di 10 tahun yang lalu mungkin kalau kita daftar paspor masih harus pergi ke kantor imigrasi terus mengisi formulir di sana. Tapi sekarang kita bisa ngisi formulirnya online terus kemudian untuk bayar pajak juga,” kata Derry.
Jadi, Derry menjelaskan bahwa salah satu manfaat dari SPBE itu adalah untuk memudahkan akses ke pelayanan publik.
Derry pun memberi contoh sistem yang ada di negara Singapura, yang lebih dulu memulai hal tersebut.
“Tetangga kita Singapura ya mereka sudah memulai ini dari 20 tahun yang lalu. Jadi sekarang mereka tiap penduduk itu sudah punya yang namanya Sing Pas,” jelas Derry.
Dengan Sing Pas, warga Singapura bisa mengakses informasi mereka dari semua kementerian.
“Untuk mengakses kesehatan, mengakses dana pensiun, mengakses imigrasi, mengakses bahkan untuk beli rumah gitu kan kayak house development board yang dimiliki Singapura,” ujar Derry.
“Jadi itu semua bisa dengan satu portal,” sambung Derry.
Maka alangkah mudahnya dan efisiennya jika Indonesia nanti bisa seperti itu.
Namun Derry mengapresiasi apa yang telah dilakukan pemerintah hingga saat ini.
“Menurut saya langkah untuk membuat pusat data nasional ini sebagai inti dari atau bagian inti dari infrastruktur yang dibilang Bu Ika tadi pondasi dari SPBE,” tandas Derry.
Sebagai informasi, Pembangunan pusat data merupakan bagian dari amanat Peraturan Presiden (Perpres) No.95/2018 tentang Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik, Perpres No.39/2019 tentang Satu
Data Indonesia, Undang-Undang (UU) No.11/2020 tentang Cipta Kerja, dan Perpres No. 18/2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.
Adanya PDN akan membuat anggaran belanja negara lebih efisien.
Berdasarkan data pemerintah, total biaya yang dihabiskan untuk belanja ribuan data center di seluruh instansi pemerintahan mencapai lebih dari Rp 20 triliun per tahun.
Angka itu belum termasuk biaya listrik, biaya pemeliharaan, jasa cloud computing, hingga jasa keamanan siber.
Bappenas memperkirakan pembangunan PDN bisa menghemat anggaran negara hingga Rp10,8 triliun per tahun.
Hal ini karena berdasarkan data Kementerian Kominfo, saat ini terdapat lebih dari 2.700 data center yang dimiliki oleh 629 instansi, baik instansi yang berada di tingkat pusat maupun di tingkat lokal.
Kementerian juga mencatat ada lebih dari 24.000 aplikasi pemerintahan dan pelayanan publik yang dikembangkan oleh instansi-instansi tersebut.
Database yang dimiliki tiap instansi juga banyak terduplikasi sehingga menyulitkan petugas untuk menggunakan data yang tepat.
Padahal, validitas dan reliabilitas data dibutuhkan sebagai input kebijakan publik.(chm/put)