- tim tvOnenews/Syifa Aulia/Muhammad Bagas
Setelah Aiman, Giliran Anies yang Dilaporkan, Begini Tahap-tahap Pembuktian Kebohongan yang Diungkap oleh Reza Indragiri
Jakarta, tvOnenews.com - Pertarungan antara ketiga calon presiden (capres) dan pendukungnya semakin tampak.
Saling lapor pun terjadi antara pendukung masing-masing capres di Pemilu 2024.
Sebelumnya, Juru Bicara Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar-Mahfud, Aiman Witjaksono dilaporkan terkait dengan pernyataan yang seolah-olah menuding polisi tidak netral dan mendukung pasangan Prabowo-Gibran.
Kasus Aiman tersebut, saat ini telah naik ke tahap penyidikan setelah kepolisian selesai melakukan serangkaian gelar perkara dan mendapati adanya dugaan tindak pidana dalam laporan tersebut.
Sementara, pascadebat ketiga yang digelar MInggu (7/1/2024) lalu, capres nomor urut 1 Anies Baswedan akhirnya dilaporkan ke polisi atas dugaan fitnah terkait tanah yang dimiliki oleh Prabowo Subianto.
Prabowo Subianto dan Anies Baswedan (kolase tim tvOnenews)
Capres Anies Baswedan dilaporkan ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) oleh Kelompok masyarakat yang mengatasnamakan Pendekar Hukum Pemilu Bersih (PHPB).
Maka, jika Aiman dan Anies berbohong seperti klaim pelapor mereka dan polisi dijadikan sebagai sasaran narasi bohong (fitnah), bolehkah polisi memperkarakannya?
Anggota Pusat Kajian Assessment Pemasyarakatan Poltekip Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), Reza Indragiri mengatakan bahwa itu diperbolehkan.
“Boleh. Tapi polisi yang dianggap telah menjadi sasaran fitnah itu adalah personel polisi (police officer), bukan lembaga kepolisian (police institution),” ujar Reza dalam keterangan tertulisnya kepada tvOnenews.com pada Rabu (10/1/2024).
“Jadi, spesifik anggota polisi tertentu yang telah dikenai fitnah, bukan polisi secara keseluruhan,” sambungnya.
Maka kata Reza, dengan kata lain, tuduhan palsu (false accusation)-nya diarahkan ke siapa, maka dialah yang membawa si penuduhnya ke proses hukum.
“Bukan malah kantor apalagi organisasi tempat dia bekerja, yang membawanya ke ranah pidana,” jelas Reza.
Menurut Reza, jika yang memperkarakan si pemfitnah adalah institusi polisi, maka akan juga muncul dua persoalan logika.
“Pertama, polisi adalah lembaga pelindung,” ujar Reza.
“Seberapa mungkin polisi--sebagai pelindung--bisa menjadi korban?” sambungnya.
Kemudian yang kedua, kata Reza bagaimana mengatasi kemungkinan campur aduknya kepentingan polisi sebagai korban dan kewenangan polisi sebagai penegak hukum?
“Penyidik menangani korban yang notabene dirinya sendiri, akuntabilitasnya akan seperti apa?” tanya Reza.
Menurut Reza, apa yang Aiman dan Anies katakan, oleh para pelapor mereka, dianggap sebagai fitnah.
Prabowo Subianto dan Anies Baswedan (tim tvOnenews/Bagas)
“Yang mencemari nama baik polisi dan Prabowo,” jelasnya.
Maka menurut Reza, dalam kasus sedemikian rupa, tahap-tahap pembuktiaannya dimulai dari memastikan dahulu.
“Memastikan bahwa perbuatan atau perkataan Aiman dan Anies yang dinilai mencemari nama baik itu benar-benar ada,” ujar Reza.
Kemudian, jika memang ada, buktikan bahwa Aiman dan Anies mengucapkan perkataan bohong mereka dengan dilatarbelakangi itikad buruk.
“Yakni, harus dibuktikan bahwa Aiman dan Anies mutlak tidak peduli akan ketidakakuratan data mereka,” saran Reza.
“Mereka tahu bahwa data mereka salah, tapi tetap mereka lontarkan ke publik,” sambungnya.
Kemudian kata Reza yang ketiga ini harus dibuktikan ketika tahap kedua tadi terkesampingkan.
“Yaitu, harus dibuktikan bahwa Aiman dan Anies tidak mengambil langkah sungguh-sungguh untuk mengecek benar tidaknya data mereka,” kata Reza.
Maksud Reza di sini adalah, setelah menerima data, Aiman dan Anies tidak melakukan pengecekan data kembali.
“Tidak melakukan tabayyun (check and recheck) atas data tersebut, melainkan langsung menyampaikannya ke publik,” ujar Reza.
Selain itu, Reza juga menambahkan bahwa hukum mengenakan beban pembuktiannya jauh lebih ketat ketika dalam beberapa situasi.
“Pertama, ketika yang menjadi sasaran narasi bohong adalah pejabat publik atau tokoh publik,” katanya.
Kedua, ketika narasi bohong itu dikemukakan pada masa kampanye politik.
“Pengenaan standar pembuktian superketat itu dilandasi pandangan bahwa pejabat publik ataupun alat negara memang secara kodrati selama-lamanya selalu menjadi sasaran sorotan negatif khalaya,” kata Reza.
Tiga Capres Pemilu 2024 (tim tvOnenews/Bagas)
Maka kata Reza, hal ini semakin relevan pada masa kontestasi demokrasi.
“Di mana masyarakat punya kepentingan untuk mengetahui atau diberitahu ihwal segala kebaikan dan keburukan calon pemimpin mereka,” jelasnya.
Reza kemudian mengatakan, maka dari itu pengetatan beban pembuktian pada dasarnya merupakan safeguard yang negara sediakan agar masyarakat tidak salah dalam memilih pejabat atau pemimpin.
“Pengetatan standar pembuktian ada tidaknya itikad tidak baik, merupakan privilese dari negara bagi segenap warganya di masa kampanye politik,” ujar Reza.
“Jadi, kepentingan masyarakat yang diutamakan di atas hak pejabat publik dan alat negara itu sendiri,” sambungnya.
Reza juga mengingatkan bahwa para pejabat atau alat negara perlu ekstra tebal telinga, terutama di masa pesta demokrasi.
“Pada masa kampanye politik, ketika politisi atau kontestan dipandang telah menyajikan data ngawur di panggung debat atau sejenisnya, koreksi harus dilakukan lewat data tandingan di forum kampanye pula,” katanya.
“Bukan dengan merepotkan apalagi mencari "perlindungan" ke institusi penegakan hukum,” sambungnya. (put)