Penampilan para awak God Bless pada awalnya meniti karir di skena musik, sangat ekletik, penuh citarasa visual.
Sumber :
  • Restropektif 50 Tahun God Bless

God Bless Setelah 50 Tahun: dari Arsip, Memorabilia, Hingga yang Tak Tertampilkan

Rabu, 21 Februari 2024 - 13:53 WIB

 

Hanya Sir Dandy sebagai kurator pameran  terlalu besar memberi tempat pada yang tampak, tak cukup beri ruang pada yang tak tampak. Seandainya kurator menjelaskan jiwa zaman saat band legendaris ini tumbuh, publik akan paham pentingnya God Bless dalam konteks Indonesia saat ini. 

Bagi saya Gito Rolies, Remy Sylado, Achmad Albar, Rhoma Irama adalah anak anak zaman yang sangat terkait dengan dialektika lini massa eranya. Mereka adalah anak anak zaman. Jika saja Denny MR diberi ruang lebih besar untuk menuliskan konteks sosial, politik, budaya God Bless di zamannya, pameran akan melampui dari sekedar pajangan artefak. 

God Bless adalah bagian dari obsesi pada yang modernitas dan baru di era itu. Taman Ismail Marzuki, tempat God Bless memulai semua perjalanannya di skema musik Indonesia pada 1973, adalah cagar budaya yang ingin menampung hasrat itu 

Saat itu, anak anak muda yang tumbuh pascagenerasi bunga terbawa gerakan kebudayaan baru yang berniat  menafsir ulang seni, menjejakkan dalam identitas keindonesiaan, darimana pun sumber inspirasinya didapat, entah seni tradisi atau modern. 

Misalnya ada komponis Suka Hardjana, Frans Hariadi, Slamet Abdul Syukur yang mendialogkan musik Barat dengan musik tradisi. Kerja kerja bengkel yang menghasilkan tradisi baru: musik kontemporer. 

God Bless misalnya setengah mati mencoba memasukan Bahasa Indonesia dalam lirik lagu protes sosial itengah semangat meniru musik rock standar Barat. Bukan usaha mudah menjadikan Bahasa Indonesia jadi natural, alamiah, indah digunakan dalam lirik lagu saat itu. 

Berita Terkait :
1
2
3 Selanjutnya
Topik Terkait
Saksikan Juga
01:50
02:03
03:05
03:21
01:44
01:05
Viral