Suasana diskusi Prodi Kajian Terorisme membahas implementasi KUHP terkait tindak pidana mengenai ideologi negara.
Sumber :
  • Tim tvOnenews

Diskusi Tindak Pidana soal Ideologi Negara, Prodi Kajian Terorisme Tegaskan Implementasi KUHP Penting

Rabu, 9 Oktober 2024 - 19:47 WIB

Jakarta, tvOnenews.com - Ketua Program Kajian Terorisme, Muhamad Syauqillah mengatakan Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia menyoroti kejahatan terhadap ideologi negara.

Muhamad Syauqillah menyebut ideologi negara tercantum dalam aturan setelah UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP menjadi pembahasan diskusi diselenggarakan oleh Prodi Kajian Terorisme.

Ia menyampaikan diskusi implementasi pentingnya KUHP mengingat praktek dari terorisme yang kini sering ditemukan berbasis ideologi kekerasan dan agama.

"Kejelasan dan rencana implementasi KUHP ini penting karena sebagai pengkaji terorisme, KUHP yang akan diberlakukan pada 2026 khususnya pasal 188, 189, dan 190 dengan tegas mengatur pidana Ideologi yang bertentangan atau bahkan meniadakan Pancasila," ungkap Muhammad Syauqillah dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (9/10/2024).

Ia mengatakan perilaku yang ditunjukkan para pelaku tindak pidana terorisme sangat berlawanan dengan nilai-nilai dalam Pancasila.

"Kalau di UU No.5 Tahun 2018 tentang perilakunya. Nah KUHP ini mau bagaimana diimplementasikan," katanya.

Syauqi menuturkan diskusi dalam mengimplementasikan kejelasan KUHP sesuai terhadap Penyidik Densus 88 yang memberikan pernyataan, "Kebanyakan tersangka kita adalah karena problem ideologi".

Sementara, Wakil Direktur SKSG, Prof. Dr. Eva Achjani Zulfa, SH., MH. menjelaskan perihal HAM memberikan perlindungan kebebasan bagi para individu dalam menganut ajaran ideologi mereka. Meski hal tersebut memiliki aturan dengan batasan bertujuan tidak merugikan mereka.

"Ketika tindak pidana ini negara terlalu over reaktif atau over kriminal. Maka bukan bikin takut malah bikin lancar. Perlu juga dicermati soal pengkhianatan, penghasutan, mengancam ketertiban umum," terang Eva saat di diskusi kelompok terpumpun di Kajian Terorisme, SKSG UI.

Lanjut, Eva mengatakan ideologi tidak mudah dipidanakan seperti halnya Imam Samudra yang mendapat hukuman mati. Sebenarnya Imam memberikan inspirasi terhadap jaringannya.

Ia juga mencontohkan hukuman mati dialami Socrates yang dipicu dengan ideologinya. Meski demikian, pikiran Socrates masih sangat bermanfaat sampai saat ini.

Copernicus juga bernasib sama akibat teori heliosentris membuat dia mendapat hukuman mati. Sayangnya teori tersebut masih sangat berguna hingga kini.

"Ada yang perlu dicermati juga jika pasal 188-190 ini diterapkan sebagai ordinary crime sementara terorisme extraordinary crime, maka bagaimana dengan lapas super maximum security?," tanya dia.

Sementara, Jaringan Moderat Indonesia, Ishlah Bahrawi menyampaikan penjelasannya bahwa ideologi sering terbebas dari pantauan sebuah negara.

Menurut Ishlah, pantauan negara yang semakin melemah bisa memunculkan sumber jaringan terorisme.

Ia mencontohkan Baader Mainhof atas sistem demokrasi miliknya yang terjadi di Jerman. Ideologi berasal dari Baader patut perlu diwaspadai seperti aliran wahabi dan salafi di Indonesia.

"Wahabi-salafi adalah embrio terorisme. Ini berasal dari pengalaman dialog langsung dengan mantan napiter yang menantang saya dialog karena protes atas pernyataan saya. Terhadap kelompok yang taqiyah inilah kita perlu menerapkan 188, 189, dan 190," paparnya.

Dalam pandangannya universalisme Pancasila perlu dijaga. Namun bukan berarti negara dapat abai terhadap ideologi-ideologi yang bisa menjadi akar terorisme di Indonesia.

"Gerakan kiri jauh dan kanan jauh saat ini bertemu di Jerman dan sedang menjadi perhatian negara. Termasuk di dalamnya cyber terrorism, ini perlu dilakukan Indonesia juga," tandasnya.

(hap)

Berita Terkait :
Topik Terkait
Saksikan Juga
02:19
02:59
02:36
20:40
01:05
03:15
Viral