- IST
Di Persidangan Korupsi Timah, Guru Besar Pertambangan Sebut Pelanggar Kerugian Lingkungan Tidak Bisa Dipidana
Jakarta, tvOnenews.com - Persidangan kasus dugaan korupsi timah dengan terdakwa Helena Lim berlanjut di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta Pusat.
Salah satu ahli yang dihadirkan dalam persidangan, yakni Guru Besar Pertambangan Universitas Hasanuddin, Prof Dr Ir Abrar Saleng yang mengungkapkan kerugian lingkungan tidak bisa dikenakan pidana bagi pemegang IUP aktif.
"Jika sebuah perusahaan pertambangan memiliki izin usaha penambangan (IUP), setiap pelanggaran yang dilakukan masuk dalam sanksi administrasi dan bukan pidana,” kata Abrar dilansir Kamis (21/11/2024).
Dia menjelaskan jaksa tidak memahami masalah aturan hukum pertambangan, pelanggaran dalam perkara itu harusnya masuk dalam ranah administrasi.
Abrar menjelaskan, pelanggaran pidana harusnya ditegakkan kepada perusahaan yang mengelola tambang ilegal, bukan berizin.
Menurutnya, penegakan hukum pun ranahnya polisi dan penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) dari Kementerian ESDM.
Abrar Saleng, menyebut bahwa aktivitas penambangan di Kepulauan Bangka Belitung bukanlah kegiatan ilegal, lantaran memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang masih aktif.
Sebelumnya, jaksa penuntut umum (JPU) Kejagung mempertanyakan kerugian negara dalam perkara tersebut.
“Meskipun terjadi illegal mining?”tanya JPU.
“Jangan ngomong-ngomong illegal mining bu. Kalau illegal mining kita ditangkap polisi. Karena ibu bilang ini kerugian negara, jadinya kita di sini, kalau illegal mining itu urusan polisi,” jelas Abrar.
Seusai persidangan, Abrar menjelaskan bahwa BUMN dapat melakukan kerjasama dengan mitra jasa pertambangan yang berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum dan didasari dengan perjanjian kerja sama.
Adapun, dasar hukumnya diatur dalam pasal 124 ayat (3) UU Minerba juncto pasal 137 ayat (3) PP No 96 Tahun 2021.
Abrar menilai telah terjadi kekeliruan mendasar dalam memahami kepemilikan atas cadangan mineral di lahan IUP PT Timah yang belum dikelola pemiliknya. Akibatnya terjadi tuduhan illegal mining dan tindak pidana korupsi.
“Cadangan mineral bukan asset pemegang IUP melainkan asset yang dikuasai oleh negara sehingga semua bahan galian tambang sebelum pembayaran iuran produksi masih menjadi hak penguasaan negara terlebih lagi bila asset tersebut belum diusahakan,” jelasnya.
Abrar menilai para pihak yang dijadikan terdakwa bukan subjek hukum yang terkait dengan tindak pidana pertambangan.
Tindak pidana pertambangan sebagaimana diatur dalam pasal 158 UU Minerba lingkupnya adalah menambang tanpa IUP, tidak sesuai tahapan IUP, menambang diluar wilayah IUP, menambang di lahan koridor, tidak menyampaikan hasil produskinya, tidak membayar iuran, menambang dalam kawasan hutan tanpa IPPKH, tidak melakukan reklamasi, dan menampung/ mengolah/ memurnikan produksi tambang dari illegal mining.
“Terhadap illegal mining pasal 149 dan pasal 150 UU Minerba menegaskan bahwa penyelidikan dan penyidikan terhadap illegal mining hanya dilakukan oleh polisi dan PPNS,” imbuhnya.
Dalam perkara ini, Helena Lim, dan para eks petinggi PT Timah, yaitu Mochtar Riza Pahlevi Tabrani, Emil Ermindra, dan MB Gunawan, didakwa ikut mengakibatkan terjadinya kerusakan lingkungan, baik di kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan dalam wilayah IUP PT Timah.
Kejaksaan Agung baru-baru ini menyebut adanya lonjakan total kerugian negara dalam perkara ini, yang semula Rp 300 triliun menjadi Rp 332,6 triliun. Kerugian terbesar adalah kerusakan alam karena pengrusakan hutan alam yang diakibatkan penambangan ilegal selama periode 2015-2022.(lgn)