- Istimewa
Soal Kasus Korupsi Timah, Pakar Hukum Sorot Potensi Gugatan Perdata Jika Penyidik Gagal Temukan Bukti
Jakarta, tvOnenews.com - Pakar Hukum Pidana Romli Atmasasmita menilai jaksa penuntut umum (JPU) mesti memahami ketentuan hukum dalam UU Tipikor pada kasus dugaan tindak pidana korupsi timah.
Dia mengatakan hal tersebut dalam sidang lanjutan kasus dugaan korupsi di PT Timah, yang menyangkut soal UU Tipikor.
Romli menekankan UU Tipikor sebenarnya telah mengatur jalan keluar bagi penanganan kasus yang tidak memiliki cukup bukti pidana melalui ketentuan Pasal 32 ayat 1.
“Jika tidak menemukan bukti permulaan yang cukup, tapi ada kerugian keuangan negara yang signifikan, penyidik wajib melimpahkan perkara tersebut ke Jamdatun (Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara) untuk kemudian dilakukan gugatan perdata,” kata dia dilansir Minggu (8/12/2024).
Dia menegaskan dalam praktiknya, membuktikan perbuatan melawan hukum (PMH) atau penyalahgunaan wewenang bukanlah hal yang mudah.
Oleh karena itu, penyusun UU memberikan opsi dalam Pasal 32 sebagai escape clause bagi kejaksaan. Gugatan perdata dapat diajukan memulihkan kerugian negara, bukan melalui mekanisme pidana.
“Kalau demikian, kerugian keuangan negara itu bukan norma pidana, melainkan norma perdata, seperti ganti rugi dalam urusan perbuatan melawan hukum,” jelasnya.
Romli juga menjelaskan perbedaan mendasar antara kerugian keuangan negara dan kerugian perekonomian negara.
Menurutnya, kerugian keuangan negara lebih mudah dibuktikan karena memiliki dasar hukum yang jelas, seperti yang tercantum dalam UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU No 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.
Sementara itu, kerugian perekonomian negara dianggap lebih kompleks dan sulit dibuktikan karena batasannya tidak jelas serta bersifat fluktuatif.
"Perekonomian negara itu hanya bisa dilihat oleh ahli ekonomi makro, bukan mikro,” tegasnya.
Dalam konteks pengelolaan sumber daya alam (SDA), termasuk tata niaga timah, Romli berpandangan hal tersebut lebih berkaitan dengan kerugian perekonomian negara daripada kerugian keuangan negara.
Oleh karena itu, dia menilai memastikan adanya kerugian perekonomian negara dalam waktu yang singkat adalah hal yang sulit dilakukan.
Sementara itu, Romli juga menyoroti pentingnya dakwaan yang jelas dan cermat sesuai Pasal 143 ayat 2 huruf b KUHAP.
Menurutnya, dakwaan yang tidak menjelaskan peran setiap terdakwa dalam tindak pidana dapat dianggap kabur sehingga berpotensi batal demi hukum.
“Jika dakwaannya dirunut sedemikian rupa tetapi tidak terlihat jelas siapa yang melakukan, menyuruh, turut serta, atau membantu, dakwaan itu termasuk tidak jelas dan dapat batal demi hukum,” jelasnya.
Dalam sidang tersebut, penasihat hukum terdakwa, Marcella Santoso, turut mempersoalkan tidak adanya penjelasan konkret terkait peran dari 20 terdakwa dalam kasus yang disampaikan jaksa penuntut umum.
Menurutnya, penegakan hukum harus mengacu pada asas legalitas bahwa tidak ada perbuatan yang dapat dipidana kecuali telah diatur dalam undang-undang.
Romli menegaskan bahwa doktrin hukum pidana di Indonesia menganut prinsip tiada satu perbuatan yang dapat dipidana kecuali yang tercantum dalam aturan.
"Hal ini harus menjadi dasar dalam penegakan hukum agar kepastian hukum dapat diwujudkan," ucapnya.