Pembelaan Dituntut 12 Tahun Penjara, Eks Dirut PT Timah Tak Percaya Niat Baik Malah Dituduh Korupsi.
Sumber :
  • ANTARA

Pembelaan Dituntut 12 Tahun Penjara, Eks Dirut PT Timah Tak Percaya Niat Baik Malah Dituduh Korupsi

Jumat, 13 Desember 2024 - 15:29 WIB

Jakarta, tvOnenews.com - Eks Direktur Utama PT Timah, Mochtar Riza Pahlevi Tabrani mengaku terkejut saat dituntut 12 tahun penjara dan denda Rp1 miliar subsider 1 tahun kurungan dalam perkara korupsi timah.

Dalam pleidoi atau nota pembelaan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Riza mengaku memiliki niat untuk membantu PT Timah yang tengah mengalami masa sulit.

Namun, dia kini merasa tak percaya seusai dituduh mendukung tambang ilegal buntut korupsi timah.

“Pada tanggal 6 April 2016, Saya diangkat menjadi Direktur Utama PT Timah (Persero), Pada saat itu, tugas pertama yang harus saya lakukan adalah membenahi kinerja PT Timah yang menurun akibat adanya kesulitan memperoleh bijih timah," kata dia dilansir Jumat (13/12/2024).

"(Saya) juga memperbaiki hubungan perusahaan yang pada saat itu tidak harmonis dengan stakeholder serta para karyawan, terlebih setelah terjadinya demonstrasi para karyawan yang menuntut pergantian Direksi PT Timah pada saat itu,” tambahnya.

Menurut dia, saat itu PT Timah (Persero) juga mengalami kesulitan cashflow, dan berpotensi tidak mampu membayar gaji karyawan akibat kesulitan mendapatkan bahan baku bijih timah yang dibuktikan sebagaimana pada Laporan Tahunan. 

Di sisi lain, sudah marak fenomena di masyarakat mengenai penambangan ilegal.

Maraknya kegiatan penambangan ilegal ini dimulai dengan perubahan era Otonomi Daerah pada tahun 1999 disusul dengan terbitnya Kepmenperindag No. 146/1999 tentang ketentuan umum dibidang ekspor dimana timah tidak lagi menjadi barang strategis Negara untuk barang ekspor. 

Dengan keluarnya peraturan-peraturan tersebut, Pemerintah Daerah mulai membuat kebijakan-kebijakan di daerahnya sendiri. Pada sektor Pertambangan Pemkab Bangka mengeluarkan Perda No.6 tahun 2001 tentang pengelolaan pertambangan umum. 

Peraturan ini membuka kesempatan kepada masyarakat untuk melakukan penambangan, termasuk penambangan timah secara massal di darat. Lokasi yang dimasuki masyarakat pada awalnya adalah lokasi-lokasi penambangan timah PT Timah (Persero).

“Adanya aktivitas penambangan masyarakat di dalam IUP PT Timah membuat suatu permasalahan bagi PT Timah dalam rangka memperoleh bijih timah. Masyarakat penambang masuk tanpa melalui izin dan kerjasama dengan PT. Timah (Persero) Tbk, sehingga pada umumnya disebut Tambang Inkonvensional atau TI,” sebut Riza.

Kegiatan tersebut dilakukan di lokasi-lokasi penambangan Perusahaan bahkan di lahan tailing yang sudah dilakukan reklamasi oleh PT Timah Tbk sehingga menjadi rusak karena penambangan yang dilakukan tidak sesuai dengan kaidah penambangan yang baik (good mining practice). 

Penyelundup pun memanfaatkan situasi ini untuk mengekspor timah secara ilegal.

“Menghadapi maraknya aktivitas penambangan inkonvensional dan masih marak aktivitas smokel atau penyelundupan biji timah keluar negeri, kemudian kesulitan mengontrol penetapan biaya kompensasi bijih timah baik berhadapan dengan masyarakat ataupun kolektor bijih timah yang ada di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, membuat PT Timah (Persero) Tbk kesulitan untuk memperoleh bijih timah,” kata dia.

Secara langsung, para smokel ini bisa menawarkan harga yang lebih tinggi kepada masyarakat karena mereka tidak perlu membayar pajak atau royalti, demikian para smokel bisa mengambil bijih timah secara tanpa hak apapun, baik IUP maupun hak atas tanah, dan langsung mengekspornya tanpa memberikan kontribusi apapun kepada negara.

PT Timah sudah berulang kali meminta bantuan kepada Aparat Penegak Hukum (APH) untuk melakukan penertiban atas aktivitas penambangan inkonvensional, akan tetapi tidak efektif dikarenakan penambangan timah sudah menjadi budaya dan sumber mata pencaharian masyarakat Kepulauan Bangka Belitung. 

Kehidupan ekonomi Masyarakat sudah terlanjur bergantung dengan aktivitas tambang inkonvensional. Penertiban aktivitas penambangan inkonvensional yang berulang-ulang malah meningkatkan resiko konfliks sosial dengan masyarakat, bahkan termasuk pembakaran kantor Gubernur Kepulauan Bangka Belitung oleh masyarakat buruh tambang inkonvensional dan industri peleburan timah pada tahun 2006 dan pengrusakan kantor Gubernur Kepulauan Bangka Belitung pada tanggal 5 Oktober 2012.

Riza mengaku telah mencoba menyelesaikan masalah ini dengan berkomunikasi dengan berbagai pihak. Upaya ini perlahan bisa membuat situasi menjadi kondusif, utamanya ke dalam atau internal terlebih dulu.

“Dalam rangka mengatasi permasalahan tersebut, maka Saya bersama Para Direksi baru lainnya kemudian melakukan roadshow dengan tujuan menemui seluruh pemangku kepentingan di seluruh wilayah kerja perusahaan dan menemui karyawan operasional di fasilitas kerja perusahaan untuk mendengarkan concern dari para pemangku kepentingan (stakeholder) serta para karyawan,” ujar Riza.

“Program konservasi mineral ini dilaksanakan dengan mengumpulkan bijih timah dari masyarakat yang mengumpulkan bijih timah di lahan yang sudah pernah ditambang. Program ini merupakan implementasi pelaksanaan program konservasi mineral yang tercantum di Undang-Undnag No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dan Permen ESDM No. 5 Tahun 2017 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian di Dalam Negeri,” tambahnya.

Apalagi diamanatkan kepada setiap perusahaan pemegang IUP supaya wajib melakukan upaya peningkatan nilai tambah melalui kegiatan pengolahan.

Selanjutnya pasal 4 ayat (2) juga mengamanatkan bahwa mineral ikutan timah berupa zircon, rutil, ilmenit, monasit dan senotim wajib dilakukan pengolahan di dalam negeri. 

“Program ini juga mengacu kepada Permen ESDM 34 tahun 2017 pasal 31 ayat (1) huruf s dan t, yang mengamanatkan untuk mengutamakan potensi lokal baik masyarakat setempat, pengusaha dan sumberdaya lokal yang ada disekitar lokasi operasi pertambangan, sekaligus menjadi dasar Perusahaan untuk melakukan upaya Penangkalan terhadap bijih timah yang dijual ke kolektor-kolektor dengan merangkul masyarakat dengan menjadikan kegiatan pengumpulan sisa-sisa hasil pengolahan atau pencucian sebagai bagian dari kegiatan produksi perusahaan dengan melakukan kerjasama kegiatan tersebut kepada masyarakat,” kata Riza.

Namun, upayanya untuk menjalankan perusahaan sesuai regulasi harus berujung pada pidana. Dia lantas dituntut 12 tahun penjara, denda Rp 1 miliar subsider 1 tahun kurungan dan denda Rp 493.399.704.345 (Rp 493,3 triliun) subsider 6 tahun kurungan. Jaksa menyakini Riza melanggar Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 jo Pasal 18 UU Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Dengan demikian, dia meminta majelis hakim untuk bersikap adil dalam memberi vonis. Pasalnya, tidak ada sedikitpun niat untuk menyalahgunakan jabatan dan mencari manfaat dan atau keuntungan pribadi atau orang lain selain dari keuntungan PT Timah, Tbk. itu sendiri. 

Dia juga selalu mengingatkan seluruh staf PT Timah, Tbk. untuk mengikuti seluruh Peraturan yang berlaku. 

“Sekali lagi saya tekankan bahwa sangat mungkin dan lebih mudah serta tidak berisiko bagi saya untuk tidak melakukan apapun, berdiam diri menikmati fasilitas perusahaan dan membiarkan perusahaan berjalan dengan kondisi yang ada, paling maksimal adalah saya diganti dan kemudian ditempatkan di posisi lain dan masih tetap mendapatkan fasilitas. Akan tetapi, Saya memilih jalan untuk mengambil keputusan strategis demi menjaga sumber daya mineral perusahaan dan menjaga keberlangsungan usaha PT Timah, Tbk,” tegasnya.(lgn)

Berita Terkait :
Topik Terkait
Saksikan Juga
03:13
05:56
01:51
01:06
18:55
09:14
Viral