- IST
Gedung Bersejarah Hotel Purajaya Dirobohkan, Tokoh Masyarakat Melayu Merasa Dizalimi
Batam, tvOnenews.com - Masyarakat melayu masih terus memperjuangkan hak-haknya di Kepulauan Riau, menyusul sejumlah polemik antara pemerintah dengan masyarakat di beberapa tempat seperti Batam dan Rempang.
Terakhir, masyarakat di Pulau Rempang meminta pemerintah mengevaluasi proyek strategis nasional (PSN) Rempang Eco City karena dianggap merugikan masyarakat Melayu yang sudah ratusan tahun tinggal di sana.
Senada dengan hal itu, Megat Rury Afriansyah yang mewakili tokoh masyarakat Melayu mengatakan bahwa masyarakat Melayu hingga kini masih memperjuangkan hak-haknya.
Menurutnya, masyarakat Melayu juga terdampak dari praktik mafia tanah, salah satunya dalam kasus perobohan Hotel Purajaya, Nongsa, Batam yang sudah dirobohkan sejak 2023 lalu.
"Apa salahnya dengan Melayu hingga harus membongkar hotel yang sudah dibangun dari tahun 1993 tersebut secara paksa?" ungkap Rury, Kamis (23/1/2025).
"Padahal, hotel ini merupakan tempat para tokoh Melayu berkumpul dan merembukkan provinsi Kepri, Gus Dur menginap disana dua kali hingga provinsi Kepri terbentuk pada 2002" lanjutnya.
Diketahui, terdapat dua alokasi pengelolaan lahan (PL) dalam kasus hotel Purajaya ini.
Yaitu alokasi pertama untuk 10 hektar lahan yang digunakan pengelola untuk membangun hotel. PL kedua seluas 20 hektar yang disebut pengelola dipakai sebagai gedung mess, gardu listrik dan bangunan lain penunjang hotel.
Rury mengatakan, pihaknya sudah mengajukan perpanjangan alokasi lahan ke BP Batam. Namun, BP Batam disebut menolak perpanjangan ini dikarenakan Hotel Purajaya tidak menarik lagi secara pariwisata.
"Kami melakukan presentasi sekitar 2-3 kali untuk perpanjangan masa alokasi lahan, lalu ditolak dengan alasan tidak menarik," kata Rury.
"Tidak jelas alasannya menetapkan Hotel Purajaya tidak menarik, sementara hotel kami Bintang 5 sudah berdiri dari tahun 1996, kan kami yang tahu bagaimana menarik, kami di bidang pariwisata, harus ada dasarnya" lanjutnya.
Naasnya, Rury menjelaskan bahwa pada tahun 2021, ia mulai mengalami kriminalisasi oleh Wali Kota Batam, Haji Muhammad Rudy.
Ia bahkan mengaku hampir di penjara karena mulai mengekspos kejanggalan ini.
"2021 September saya dikriminalisasi, seolah saya dibilang penipuan karena tidak membayar WTO dan lain sebagainya," kata Rury.
"Saya bahkan hampir di penjara, karena kenapa? ketika saya blow up di media, waktu beliau berkuasa pasti saya di BAP Mabes Polri tiap menceritakan kasus ini," lanjutnya.
Rury menyoroti bahwa penggusuran ini tidak hanya merugikan dirinya sebagai pemilik hotel, tetapi juga berdampak pada ratusan pekerja Melayu yang bergantung pada hotel tersebut.
"Kami membekerjakan ratusan orang Melayu setempat yang ada di sekitaran resort tersebut. Bagaimana dengan nasib mereka? Apa dampak sosial yang terjadi pada kami, khususnya Bangsa Melayu?" tanyanya.
Ia juga mempertanyakan keadilan yang seharusnya diberikan kepada masyarakat Melayu. Menurutnya, Hotel Purajaya sudah menjadi bagian dari sejarah Melayu di Kepualauan Riau sehingga tidak harus dibongkar.
"Apakah masih ada keadilan di Bumi Melayu ini? Kenapa kami sepertinya tidak dilihat oleh pemerintah pusat? Kenapa bangunan kami diratakan begitu saja?" ungkap Rury.
Sebelumnya, Badan Pengusahaan (BP) Batam merespon tudingan-tudingan atas pengakhiran alokasi lahan di pemberitaan media massa beberapa hari terakhir ini. Melalui Kepala Biro Humas, Promosi dan Protokol, Ariastuty Sirait, meluruskan ihwal tudingan hoaks oleh Dirut. PT Dani Tasha Lestari (PT DTL), Rury Afriansyah.
“Sebagai Kepala Biro Humas, Promosi dan Protokol BP Batam, saya ditunjuk menjadi juru bicara institusi. Semua yang kami sampaikan berdasarkan fakta dan data dari unit kerja terkait, tudingan saya bicara hoaks oleh Rury berarti melecehkan institusi BP Batam dan Kepala BP Batam,” kata Ariastuty di Batam Center, Selasa, (19/11/2024).
Ariastuty merinci setidaknya ada tiga tudingan yang dilontarkan Dirut PT DTL, Rury Afriansyah selaku pihak pengelola hotel Purajaya.
Pertama, terkait pernyataan yang menyebutkan PT DTL tidak mengajukan perpanjangan kepada BP Batam untuk lahan Hotel Purajaya seluas 10 hektar.
“Penting kami sampaikan sejumlah fakta, data dan kronologis untuk meluruskan, bahwa alokasi lahan PT DTL dimulai dari 7 September 1988 dan berakhir pada 7 September 2018. Hingga masa alokasi lahan berakhir, PT DTL memang tidak mengajukan permohonan perpanjangan alokasi,” sebut Ariastuty.
Tudingan kedua, tentang PT DTL tidak melampirkan rencana bisnis dan pernyataan kesanggupan membayar UWT.
Kami jelaskan bahwa setelah masa alokasi berakhir, BP Batam masih memberi kesempatan sekali lagi bagi pemilik lahan untuk mengajukan permohonan perpanjangan alokasi lahan.
Upaya tersebut dilakukan dengan memanggil rapat pihak PT DTL sebanyak dua kali pada 20 Oktober 2018 namun tidak hadir. Kemudian, pemanggilan kembali pada 5 Desember dan dilanjut 6 Desember 2018 yang hanya dihadiri Komisaris.
Dalam rapat itu, BP Batam menyarankan agar mengajukan perpanjangan alokasi lahan dengan rencana bisnis dan pernyataan kesanggupan membayar UWT.
Namun, saran BP Batam tak kunjung ada tindak lanjutnya. Hingga terbit SP 1 tanggal 2 April 2019, SP 2 tanggal 28 Mei 2019 dan SP 3 tanggal 10 Juli 2019 serta surat pengakhiran tanggal 22 Agustus 2019.
Ia melanjutkan, setelah terbit SP 1,2 dan 3 serta surat pengakhiran oleh BP Batam pada 22 Agustus 2019 itu, barulah ada upaya PT DTL mengajukan surat permohonan perpanjangan via LMS BP Batam pada 6 September 2019. (ebs)