- Antara
Asosiasi Petani Sawit Pertanyakan Kebijakan Mentan dan Menteri LHK
Jakarta - Asosiasi petani sawit di Riau, Sumatera Barat menilai bahwa Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Men- LHK) Siti Nurbaya perlu untuk dievaluasi.
Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Sawitku Masa Depanku (SAMADE) menilai bahwa kedua kementerian tersebut gagal dalam menerjemahkan program prioritas Presiden Jokowi yakni Peremajaan Sawit Rakyat (PSR). Bahkan, SAMADE menilai bahwa Mentan dan Men-LHK justru terkesan menghalangi.
"Gara-gara keduanya tidak bisa menerjemahkan program prioritas itu, petani kelapa sawit menjadi sangat dirugikan," kata Ketua Umum DPP SAMADE, Aziz, Selasa (27/12/2022).
Aziz menjelaskan, bahwa sebelumnya Kementerian Pertanian telah mengeluarkan data bahwa potensi Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) mencapai 2,78 juta hektar.
"Dari 2020, sudah juga dibuat kesepahaman percepatan PSR dengan target 180 ribu hektar per tahun," papar dia.
Namun, Aziz menilai bahwa hingga November 2022 kini capaian peremajaan sawit rakyat tersebut masih jauh dari rencana awal.
"Tapi dari 2016 sampai November 2022 lalu, kebun sawit rakyat yang baru berhasil diremajakan, masih hanya 257.862 hektar. Lahan ini milik 112.925 pekebun,” ungkapnya.
Menurut dia, rendahnya capaian PSR ini disebabkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang sering mengklaim kebun kelapa sawit rakyat menjadi kawasan hutan.
"Tidak lepas dari klaim kawasan hutan yang dilakukan oleh KLHK terhadap kebun-kebun kelapa sawit rakyat yang sesungguhnya sudah mereka kelola lebih dari 25 tahun," terangnya.
Padahal, lanjut Aziz menjelaskan, untuk mendapatkan dana hibah dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) diperlukan salah satu syarat untuk lolos.
"Usulan itu adalah kebun petani tidak berada di dalam kawasan hutan. Nah kemudian, di saat kita pengajuan bantuan dana inilah ketahuan kalau ternyata lahan kebun petani berada di dalam kawasan hutan," terang dia.
"Ini kan aneh, lahan yang sudah dikuasai lebih dari 25 tahun, tiba-tiba diklaim berada di kawasan hutan. Yang paling aneh lagi, lahan petani yang sudah punya sertifikat tanah, juga diklaim dalam kawasan hutan,” lanjutnya.
Sehingga, kata dia, umitnya persyaratan PSR yang dibuat oleh Kementan, menambah daftar panjang persoalan yang dihadapi petani.
Jadi, menurut Aziz SAMADE, semestinya Kementan mempertanyakan apa dasar KLHK mengatakan lahan petani itu berada di dalam kawasan hutan. Lalu jawaban KLHK itu kemudian disampaikan kepada petani.
“Dan mestinya, Kementan menyodorkan UUCK sebagai solusi baru agar petani bisa meremajakan kebunnya. Tapi itu tidak dilakukan. Padahal itu teramat mudah dilakukan disaat Mentan maupun Men-LHK berasal dari ‘rumah’ yang sama,” tandasnya. (rpi/ebs)