- Pexels-Brett Sayles
Komunitas LGBTQ di Uganda Hidup dalam Ketakutan Usai UU Anti LGBTQ Disahkan, Sampai Tutup Akun Medsos
Kampala, tvOnenews.com - Menurut Ketua Parlemen Uganda Anita Among, komunitas LGBTQ di Uganda hidup dalam ketakutan usai undang-undang (UU) anti LGBTQ disahkan.
Mereka menutup akun media sosial (medsos) dan meninggalkan rumah untuk mencari perlindungan. Bahkan, ada yang berencana melarikan diri ke luar negeri.
Museveni mengirimkan kembali salinan asli RUU tersebut kepada Parlemen dan meminta mereka untuk melakukan berbagai perbaikan.
Versi yang diamandemen adalah pasal yang menyatakan bahwa mengaku sebagai LGBTQ bukanlah kejahatan dan merevisi tindakan yang mewajibkan orang melaporkan aktivitas homoseksual hanya jika melibatkan anak-anak.
Sebelumnya diberitakan, Presiden Uganda Yoweri Museveni menandatangani salah satu undang-undang anti LGBTQ paling keras di dunia. Hal ini termasuk hukuman penjara hingga hukuman mati.
Hubungan sesama jenis merupakan perbuatan terlarang di Uganda. Seperti halnya di lebih dari 30 negara Afrika lainnya.
Komunitas LGBTQ di Uganda hidup dalam ketakutan usai UU anti LGBTQ disahkan, sampai tutup akun medsos. Dok: Istimewa
Akan tetapi, undang-undang baru tersebut merupakan yang paling tegas.
UU tersebut memberlakukan hukuman mati bagi perilaku yang bisa menularkan penyakit seperti HIV/AIDS melalui hubungan sesama jenis dan menerapkan hukuman 20 tahun penjara bagi mereka yang mempromosikan hubungan sejenis.
"Presiden Uganda telah melegalkan homofobia dan transfobia yang disponsori oleh negara," ujar aktivitas HAM Uganda Clare Byarugaba.
"Ini adalah hari yang sangat menyedihkan dan kelam bagi komunitas LGBTQ,” sambungnya.
Dia dan aktivis lain bertekad untuk melawan UU tersebut. Namun, Presiden Uganda mendesak anggota parlemen untuk melawan tekanan negara imperialis.
UU anti LGBTQ 2014 yang lebih lunak sempat dicabut oleh pengadilan karena alasan prosedural setelah pemerintah Barat menangguhkan berbagai bantuan, memberlakukan pembatasan visa dan dan mengurangi kerja sama keamanan.
Uganda menerima bantuan senilai miliaran dolar dari luar negeri setiap tahun. Dengan adanya pemberlakuan UU baru tersebut, Uganda bisa saja menghadapi sanksi yang lebih berat.
Dampak terbaru dari UU tersebut adalah ditolaknya permohonan visa ke Amerika Serikat bagi Ketua Parlemen Uganda Anita Among. Namun, Among dan Kedutaan Besar AS di Uganda belum berkomentar.
Gedung Putih mengecam rancangan UU tersebut saat pertama kali diajukan pada Maret lalu.
Pemerintah AS menyatakan akan meninjau kembali implikasinya terhadap kegiatan PEPFAR—sebuah program di Uganda.
PEPFAR—dana global untuk memerangi AIDS, tuberkulosis, malaria dan program bersama PBB untuk HIV/AIDS—menyebut UU tersebut membuat program anti HIV di Uganda menjadi kacau balau.
"Berdasarkan data kami, undang-undang tersebut berlawanan dengan kepentingan kemajuan ekonomi dan kesejahteraan seluruh rakyat Uganda," ujar Bos Open For Business Dominic Arnall.
Sementara itu, Uni Eropa mengulangi kecaman yang pernah mereka sampaikan pada Maret lalu.
Badan hak asasi manusia PBB juga mengatakan UU tersebut bisa dipakai sebagai alat untuk melanggar hak rakyat Uganda secara sistematis.
"Kami sangat terkejut karena rancangan undang-undang anti gay yang kejam dan diskriminatif tersebut sudah menjadi undang-undang," demikian pernyataan Uni Eropa di Twitter. (ant/nsi)