- Tim tvOne - Andri Prasetyo
Negosiasi Jalan Keluar Terbaik Akhiri Konflik Rusia-Ukraina
Sleman, DIY - Rusia dan Ukraina memulai perundingan damai setelah sekitar 4 hari terjadi konflik. Pertemuan delegasi kedua negara digelar di Gomel, Belarusia.
Pakar studi Eropa sekaligus peneliti senior Institute of Internasional Studies (IIS) Universitas gadjah Mada (UGM) Muhadi Sugiono mengatakan negosiasi menjadi jalan keluar terbaik untuk mengakhiri konflik Rusia dan Ukraina.
"Seharusnya pintu negosiasi dibuka selebar-lebarnya agar Amerika Serikat dan negara-negara Barat dapat memahami apa yang menjadi kebutuhan Putin. Tanpa negosiasi, akibatnya justru akan fatal,” ujarnya dalam siaran pers Senin, (28/2/2022).
Muhadi menjelaskan konflik kedua negara berakar pada kecemasan Rusia terhadap Ukraina yang akan bergabung ke dalam NATO. Bagi Presiden Putin, ekspansi keanggotaan tersebut merupakan sinyal ‘pengkhianatan’ negara-negara pemenang Perang Dingin terhadap Rusia yang tak menghendaki perluasan NATO pasca-Perang Dingin.
"Saat ini, aksi NATO yang melakukan ekspansi keanggotaan ke wilayah timur mengancam posisi Ukraina sebagai 'benteng terakhir’ bagi Rusia. Jika Ukraina bergabung dengan NATO, perbatasan di antara Rusia dan NATO akan berhimpitan,” terangnya.
Apabila Ukraina bergabung ke NATO, kata Muhadi, maka persoalan yang lebih serius akan muncul. Oleh karenanya Rusia terlebih dahulu melancarkan manuver-manuver agresif sebelum hal itu benar-benar terjadi.
Salah satu caranya dengan menganeksasi Krimea, Donansk, dan wilayah-wilayah bagian timur guna menutup kemungkinan afiliasi NATO dengan Ukraina. Terlebih ada dugaan bahwa Rusia saat ini tengah dilanda kecemasan terhadap prospek hilangnya zona-zona penyangga (buffer zones) yang dapat menyokong keamanannya, khususnya Ukraina.
“Saat ini Rusia menuntut sesuatu yang telah lama ‘diklaimnya’. Persoalan Ukraina, bahkan menjadi ‘life and death’ bagi keamanan dan geopolitik Rusia. Dan, dalam keputusasaan, Rusia dikhawatirkan dapat menjadikan senjata nuklir sebagai opsi, entah secara terpaksa atau tidak,” ungkap Muhadi.
Namun, krisis ini ditengarai akan menjadi semakin kompleks apabila Amerika Serikat, Eropa, dan NATO terus menggunakan paradigma ‘menghukum Rusia’ melalui sanksi-sanksi ketat guna memancing perubahan sikap dan kebijakan Rusia. Cara berpikir ini tampaknya merupakan warisan euforia kemenangan perang Dingin AS dan sekutunya.
Merasa superior, AS dan sekutunya merasa percaya diri untuk menekan dan menghimpit Moskow. Persoalannya, usaha mengutuk dan menghukum Rusia itu tidak akan bisa menyelesaikan konflik bila sumber kekhawatiran Rusia soal perluasan NATO tidak turut didengarkan.
"Konflik ini dibingkai dengan media yang cenderung menyoroti sikap agresif Rusia. Akan tetapi, jika kita melihatnya dari perspektif konflik dan perdamaian, kita berbicara soal akar-akar permasalahan.
Salah satu alasan munculnya perang adalah karena negosiasi yang dilakukan antara Amerika Serikat dan negara-negara Barat gagal memperhatikan apa yang menjadi kekhawatiran Rusia—bahwa Rusia tidak ingin Ukraina menjadi bagian dari NATO,” papar Muhadi.
Salah satu implikasi strategi agresif Rusia adalah terganggunya stabilitas sistem internasional. Muhadi menambahkan, selain ancaman penggunaan senjata nuklir, sikap Amerika Serikat dan NATO terhadap Rusia pun turut mencemaskan kekuatan besar lainnya, termasuk Cina.
Walaupun bukan berarti Cina akan membantu Rusia untuk menyerang Ukraina, isu ini dinilai dapat memicu agitasi Cina lebih jauh–bahkan dapat direspons secara agresif–apabila Amerika Serikat memutuskan untuk terlibat secara langsung di Ukraina.
"Sejauh ini, dalam kasus-kasus tertentu, Cina bersikap sangat agresif, tetapi dalam kasus-kasus lainnya juga sangat responsif, misalnya terhadap AUKUS yang seolah-olah ‘mengepung’ Cina.
Respons Beijing terhadap pembentukan pakta tersebut sangat keras, meskipun hanya dalam taraf retorika. Satu-satunya yang akan membuat Cina akan bertindak sangat serius adalah kasus Taiwan,” ungkap Muhadi.
Lebih lanjut Muhadi menerangkan, konflik Rusia-Ukraina jika tidak segera diakhiri dapat berimbas ke dunia internasional. Sementara dampak langsung kepada Indonesia cenderung minim.
Akan tetapi, tahun ini Indonesia menjadi Presidensi G20 di mana Rusia, Uni Eropa, dan Amerika Serikat akan bertemu. Meskipun tidak membicarakan isu keamanan, forum ini kemungkinan besar dapat terdampak atau malah menjadi momen dialog, khususnya dalam isu kondisi ekonomi global.
Dalam catatan yang lebih mendesak, Muhadi menaruh perhatian pada konsekuensi humaniter yang dapat terjadi, khususnya terkait arus pengungsi yang mulai meninggalkan Ukraina.
“Setiap konflik selalu menjadikan warga sipil korban, baik secara sengaja maupun tidak. Akan tetapi, menjadi penting dan mendesak untuk menghindari terjadinya collateral damage (timbulnya kerusakan dan korban jiwa yang tidak diharapkan),” pungkas Muhadi. (Andri Prasetiyo/Buz).