- Tim tvOnenews/Langgeng Puji
Kisah Pekerja Migran Kembali Jadi Korban Perdagangan Manusia, Disiksa Hingga Nyaris Tewas
Jakarta, tvOnenews.com - Pekerja Rumah Tangga (PRT) Migran kembali menjadi korban dugaan perdanganan manusia ketika bekerja di Hong Kong.
Korban yang berinisal KP merupakan wanita 40 tahun bekerja selama lebih kurang dua tahun dengan mendapat siksaan berat, hingga berpotensi kehilangan nyawanya.
Hal itu disampaikan KP ketika dalam acara Konferensi Pers Negara Harus Meminta Maaf, Menegakkan Keadilan dan Mengubah Kebijakan yang Merugikan PRT Migran di YLBHI, Menteng, Jakarta, Selasa (7/3/2023).
KP menceritakan bahwa dirinya menjadi bahan eksploitasi, penganiyaan, kekerasan, penyekapan, dan perlakukan keji oleh kedua majikannya yang merupakan suami-isteri.
"Tiga bulan pertama bekerja, majikan masih memperlakukan saya dengan baik. Namun, setelah mereka pindah ke rumah baru, mulai saat itu majikan perempuan berubah sikapnya. Majikan saya membuang semua barang-barang saya, termasuk pakaian, dokumen dari Indonesia dan Hong Kong," kata KP di lokasi.
Dia menjelaskan sedari Juli 2010 hingga Oktober 2012 bekerja tidak mendapat gaji, libur, jaminan sosial, dan buruknya kondisi tempatnya bekerja.
Padahal, dia mengaku bekerja untuk merawat tiga anak dan dua orang dewasa di keluarga tersebut. Kedua majikan tersebut bernama Tai Chi-Wai dan Caherine Au Yuk-shan. Mereka tinggal di Kota Tai Po, Hong Kong.
Menurut KP, ketika musim panas dan dingin, majikannya memaksa memakai plastik sampah sebagai pengganti pakaian.
"Saya dipaksa memakai popok setiap hari. Saya juga dipukul menggunakan tangan, sepatu, gantungan baju, bahkan rantai sepeda," jelasnya.
Sambil menahan tangisan, KP kembali menceritakan kisah kelamnya bekerja di Hong Kong, yang mana mendapat perlakuan buruk dari majikannya.
Dia mengatakan hanya diberi makan tiga kali dalam satu pekan, berupa bubur sisa dari rumah sakit tempat majikan perempuannya bekerja.
"Saya hanya boleh minum air keran atau dari toilet. Majikan hanya memperbolehkan saya mandi di toilet umum, tanpa sabun, shampo, dan gosok gigi," terangnya.
Sementara itu, KP mengatakan selalu mendapat penyiksaan dengan cara tangan diikat setiap hari.
Dia mengaku kerap mendapat ancaman dibunuh oleh majikannya jika berusaha kabur atau melaporkan kejadian tersebut.
"Jika saya menolak, dia menggunakan cutter melukai tubuh saya dan mengancam akan membunuh saya. Hampir setiap hari badan, kepala, muka, punggung saya dipukuli majikan perempuan, dengan hanger baju, rantai kunci sepeda, dan botol kaca. Kepala saya juga sering dibenturkan ke tembok dapur. Saya sering diancam akan dibunuh jika mencoba melarikan diri," imbuhnya.
Sekitar tahun 2021, KP bahkan merasa frustasi ingin bunuh diri ketika berada dalam situasi diikat di kursi selama sepekan ketika majikannya berlibur ke Thailand. Dalam waktu tersebut, dirinya mengaku tidak diberi makan apa pun.
"Saat itu, saya benar-benar putus asa tidak tahu apa yang harus saya lakukan. Saya tidak punya teman, tidak bisa menghubungi siapa pun dan disiksa setiap hari. Saya hanya bisa pasrah kepada Tuhan YME," tambahnya.
"Selain penyiksaan fisik, saya juga tidak pernah digaji dan tidak diberi libur atau uang libur selama 2,3 tahun bekerja," kata KP.
Meski telah lolos dari maut akibat penyiksaan dari majikan, KP mengaku masih trauma meningat kejadian tersebut.
Menurut dia, tidak ada perlindungan bagi korban migran, padahal dirinya sangat membutuhkan perawatan psikologis dan psikis akibat peristiwa tersebut.
"Kondisi saya masih sangat trauma, ketakutan dan selalu mimpi buruk. Selama di KJRI, saya tidak pernah dibawa berobat untuk fisik dan mental saya," imbuhnya. (lpk/ree)