- Istimewa
China Minta Utang Kereta Cepat Dijamin APBN, Komisi VI DPR Beberkan 5 Risikonya
Jakarta, tvOnenews.com - Anggota Komisi VI DPR RI dari Fraksi PPP menilai negosiasi penambahan utang proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung sebesar Rp8,3 triliun dengan pihak kreditur China perlu mendapat perhatian serius dari Pemerintah.
Dia menjelaskan, bahwa sebelumnya pihak kreditur meminta Pemerintah menggunakan APBN sebagai agunan atau jaminan pinjaman Kereta Cepat. Kemudian, pihak konsorsium kereta cepat juga meminta konsesi proyek diperpanjang hingga 80 tahun.
"Padahal penggunaan jaminan APBN dan perpanjangan konsesi memiliki beberapa risiko terhadap keuangan negara," kata Awiek sapaan akrabnya, Senin (17/4/2023).
Menurut dia, penjaminan melalui APBN cukup berisiko tinggi karena 5 faktor utama. Kemudian dia memaparkan 5 risiko jika Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Indonesia digunakan sebagai jaminan uang kereta cepat.
Pertama, kenaikan biaya konstruksi atau cost overrun terjadi akibat perencanaan proyek yang kurang matang.Sehingga selama proyek dijalankan terdapat kenaikan biaya bunga, biaya tenaga kerja, hingga biaya pembebasan lahan.
"Kondisi tersebut seharusnya sudah tercermin pada saat uji kelayakan proyek dilakukan. Kesalahan dalam perencanaan, tidak bisa hanya dibebankan kepada pihak BUMN dan pemerintah Indonesia," jelas Awiek.
Kedua, dia menilai bahwa proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung secara finansial memiliki masa pengembalian investasi yang cukup panjang.
"Bagi APBN tentu bukan saja masa konstruksi yang menimbulkan beban, namun pada saat kereta resmi beroperasi, beban operator bisa ikut menjadi tanggungan APBN. Apalagi permintaan konsesi 80 tahun yang berarti utang akan jadi tanggungan APBN jangka panjang," terang dia.
Ia pun meminta agar Pemerintah waspada terhadap skenario debt trap atau jebakan utang. Dimana proyek yang membebani BUMN dan anggaran Negara sengaja diciptakan dengan skenario tertentu oleh pihak kreditur sehingga pengelolaan aset strategis nasional pindah ke tangan asing.
Ketiga, menurut Awiek, penjaminan utang dengan skema APBN bukan solusi ideal saat ini. APBN sedang mengejar target defisit wajib kembali ke bawah 3% sebelum 2024, sementara belanja perlindungan sosial, pengendalian inflasi, belanja pendidikan dan belanja rutin wajib diprioritaskan Pemerintah.
Keempat, proyek Kereta Cepat awalnya adalah Business to Business sehingga permasalahan pembengkakan biaya selama proyek berjalan dapat diselesaikan dengan mekanisme bisnis, bukan melibatkan APBN yang notabene hasil pungutan pajak masyarakat.
Kelima, calon penumpang Kereta Cepat adalah masyarakat berpendapatan menengah ke atas yang bukan termasuk kedalam sasaran subsidi APBN.
Sebagai informasi, rencana harga tiket Kereta Cepat berkisar Rp125 ribu untuk rute terdekat dan Rp250 ribu untuk rute terjauh.
Oleh sebab itu, Awiek meminta kepada Pemerintah untuk menaikkan daya tawar terhadap pihak kreditur China dalam mencari jalan keluar utang Kereta Cepat.
"Dengan berbagai risiko yang muncul dari skema penjaminan APBN, sebaiknya Pemerintah menawarkan penjaminan melalui aset Kereta Cepat atau pemisahan risiko di PT PII," tutur Awiek.
"Masih banyak opsi yang rendah risiko dan tidak menimbulkan tekanan keuangan Negara khususnya ketika risiko gagal bayar tinggi," pungkasnya. (rpi/mii)