- Istimewa
Tegas! Menyamakan Tembakau dengan Narkotika, PBNU Tolak RUU Kesehatan: Akan Jadi Pasal Karet
Jakarta, tvOnenews.com - Rancangan Undang-undang (RUU) Kesehatan menjadi kontroversi yang cukup berkepanjangan. RUU ini juga menjadi pembahasan yang kian memanas di kalangan para kiai dalam Bahsul Masail Kiai dan Bu Nyai se-Indonesia Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).
RUU Kesehatan tersebut oleh para kiai dianggap bermasalah karena diantara klausul yang diusulkan adalah ‘menyamakan’ olahan hasil tembakau dengan narkotika, minuman beralkohol zat adiktif lainnya.
Katib Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, KH. Sarmidi Husna menilai bahwa undang-undang ini jika jadi disahkan akan menjadi pasal karet.
“Ini bisa menimbulkan kegaduhan dan dikhawatirkan akan menjadi pasal karet karena menyamakan petani tembakau dengan petani ganja,” ujar KH. Sarmidi Husna, dikutip Senin (8/5/2023).
Di sisi lain, Ketua Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LBM PBNU) KH. Mahbub Ma’afi menekankan bahwa forum diskusi atau Bahsul Masail ini berangkat dari keprihatinan para kiai di lingkungan Nahdlatul Ulama akan tekanan yang diarahkan kepada para petani tembakau dan masyarakat kecil.
“Masyarakat Nahdlatul Ulama banyak yang terlibat dalam industri ini entah sebagai petani, buruh, penjual, pengecer, dan lain-lain. Kami ingin mengakomodir keluhan mereka,” ucap KH. Mahbub Ma'afi.
Sekadar informasi, Bahtsul Masail adalah forum silaturahmi bagi orang NU yang didalamnya dilakukan pembahasan dan pemecahan masalah-masalah yang Maudli'iyah (tematik) dan Waqi'iyah (aktual) yang memerlukan kepastian hukum yang belum pernah dibahas sebelumnya.
Mahbub Ma'afi menjelaskan, diantara rekomendasi yang dihasilkan dari forum Bahsul Masail tersebut adalah menolak pasal 154 RUU Kesehatan 2023 yang berpotensi menimbulkan pasal karet.
Selain itu, hasil Bahsul Masail juga menolak peraturan Kemenkes soal kemasan.
“Kemasan rokok diberi peringatan besar dan visual yang menakutkan. Tapi kenapa alkohol tidak diberi peringatan yang sama padahal keharaman dan madharat-nya jauh lebih besar?” ujar KH. Sarmidi Husna.
Dalam kesempatan sama, mantan ketua Komnas HAM RI dan wakil ketua LPBH PBNU Nur Kholis mengatakan bahwa hukum dibuat untuk menyelesaikan permasalahan sosial sesuai dengan teori Critical Legal Studies.
“Apabila ada 6,1 juta jiwa rakyat yang terlibat langsung dalam ekosistem tembakau sebagaimana data yang ada, maka dimana letak keberpihakan RUU ini atas nasib mereka?” ujar Nur Kholis.
Perlu diketahui, Pembentukan Rancangan Undang-undang (RUU) Kesehatan menjadi polemik bagi organisasi profesi kesehatan. Apalagi, RUU Kesehatan yang dikonsep dengan metode omnibus law ini disebut telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2023 di DPR RI.
Omnibus law RUU Kesehatan ini akan menggabungkan sejumlah undang-undang yang mengatur tentang dunia kesehatan di Indonesia, seperti UU Keperawatan, UU Kebidanan, dan UU Praktik Kedokteran.
Lewat RUU ini, UU Nomor 36 Tahun 2009 bakal direvisi dan sedikitnya ada 13 undang-undang lain yang berkaitan dengan sektor kesehatan bakal digabungkan ke dalamnya.
Masalahnya, RUU Kesehatan ini dikritik oleh lima organisasi profesi kesehatan. Mereka bahkan melakukan aksi unjuk rasa di DPR RI pada 28 November lalu untuk menyatakan sikap menolak RUU tersebut.
Kelima organisasi profesi tersebut, antara lain: Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), dan Ikatan Bidan Indonesia (IBI). Kemudian Persatuan Persatuan Perawat Indonesia (PPNI) dan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI).
Ketua Umum PB IDI, dr Adib Khumaidi, SpOT, menyebutkan bahwa pihaknya dan sejumlah organisasi kesehatan lain tak dilibatkan dalam RUU tersebut, yang khawatir bisa berdampak pada kesehatan secara menyeluruh di masyarakat Indonesia.
Adib menjelaskan bahwa RUU tersebut termasuk dalam daftar usulan prioritas prolegnas prioritas 2023, yang merupakan RUU usulan DPR.
Tertulis bahwa RUU ini dalam Prolegnas Perubahan Ketiga Tahun 2020-2024 tertulis RUU tentang Sistem Kesehatan Nasional. Namun rupanya, IDI dan organisasi kesehatan lain merasa tak dilibatkan dalam RUU tersebut.
Di sisi lain, IDI dan organisasi kesehatan lain menilai bahwa pemerintah seharusnya sudah mulai memperbaiki sistem kesehatan yang komprehensif mulai dari edukasi hingga ke pelayanan.
Sebab, ada sejumlah masalah kesehatan yang patut difokuskan pemerintah lantaran sudah darurat di Indonesia. (rpi)