- tim tvonenews.com
Histeria
Saya secara detil mencatat macam macam ajian sakti yang dimilikinya pada buku tulis kumal di sekolah. Saat bermain dengan kawan kawan di lapangan bola, tak jarang kami saling “menguji” kesaktian masing masing.
Singkatnya, hanya dengan radio, kepala dan batin saya penuh dan utuh.
Kelak saya juga jadi paham, sesungguhnya, Radio Galuh ikut menavigasi saya ketika melalui masa muda yang penuh gelora. Dongeng-dongeng Wa Kepoh membuat saya mengerti “moralitas” yang mungkin alpa diajarkan di bangku sekolah.
Saya paham benar dan salah, mengerti baik dan buruk, bisa survive melalui masa pubertas pada saat sekolah menengah, karena ingatan pada nilai-nilai yang dikandung dari dongengan Wa Kepoh.
Dengan caranya, Radio Galuh ikut menghidupi kebudayaan dan “bahasa ibu” bagi saya.
Ketika kini saya jadi manusia urban di Jakarta, saya tidak “limbung” dan “melayang layang” karena tak berjejak ke tanah atau tercerabut dari akar tradisi budaya leluhur. Sampai kapan pun, saya kini merasa tetap terhubung dengan budaya Sunda, budaya dan “bahasa ibu” saya.
Karenanya saya kaget dan merasa “berdosa” ketika beberapa tahun lalu mendapati sebagian “kenangan masa muda” ini teronggok pada sebuah ruko seadanya di Tasikmalaya, dengan perlengkapan berdebu, dan secara bisnis “mati segan hidup tak mau”. Saya dan keluarga lalu memutuskan mengakuisi radio ini karena sebagian imajinasi saya ikut dibentuk olehnya.
Bagi saya ini benda pusaka, heritage bagi masyarakat Tasikmalaya dan Priangan Timur yang harus dirawat sebisanya.
Saat ini, ketika ruang ruang sosial kita menjadi mengeras, saya jadi bertanya pada diri sendiri, apakah kedatangan Coldplay ke Jakarta merupakan berita baik atau berita buruk.
Sebagai anak bangsa, saya hanya bisa berharap, semoga kedatangan Coldplay berkah bagi bangsa, dan bukan sebaliknya. (KC)