- tvOnenews - Tut Wuri Handayani
Dampak Pelarangan Ekspor Bauksit oleh Pemerintah, Ribuan Karyawan Terancam PHK
Kalimantan Barat, tvOnenews.com - Larangan kegiatan ekspor mineral mentah oleh Pemerintah dalam hal ini Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada bulan Juni mendatang, sangat dirasakan dampaknya pada sektor pertambangan di Kalimantan Barat.
Sejumlah perusahaan tambang bauksit di Kalbar mulai melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK). Salah satu perusahaan tambang bauksit yang sudah mengurangi tenaga kerja adalah PT Ratu Intan Mining, yang berada di Air Upas, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat.
"Dari 700 lebih karyawan yang aktif, saat ini tinggal 600 karyawan yang masih aktif. Dan kita lihat kebijakan Pemerintah sampai bulan Juni kedepan seperti apa. Masih ada lagi karyawan-karyawan yang habis kontrak dan tidak lagi diperpanjang oleh manajemen perusahaan," terang Lukman, Vice President PT Ratu Intan Mining.
"Menurutnya perusahaan telah mengikuti aturan dan memenuhi aturan pemerintah. Salah satunya diantaranya dengan adanya smelter dan jelas keberadaanya, bahkan saat ini sedang ditambahkan pembangunan line ke-3," jelas Lukman.
Sementara Kepala Dusun Batang Belian Bria mengatakan, adanya pelarangan ekspor mineral mentah oleh pemerintah sangat dirasakan dampaknya oleh warganya. Sebagian warganya yang bekerja di perusahaan Tambang Bauksit sudah banyak yang di PHK akibat adanya pengurangan produksi oleh perusahaan.
Pelarangan kegiatan ekspor mineral mentah oleh pemerintah merujuk pada Undang-undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan mineral dan batu bara (Minerba). Jika bauksit terimbas larangan ekspor, maka dampaknya kegiatan pertambangan di sektor bauksit akan berhenti dan puluhan ribu karyawan yang berkerja terancam gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Rencana pemerintah menghentikan ekspor mineral mentah bauksit bakal berdampak cukup signifikan bagi perekonomian daerah karena terancam adanya PHK masal. Khususnya di Kalimantan Barat, dimana sebagian besar pendapatan daerah didapat dari kontribusi ekspor bahan mentah yang masih didominasi produk komoditi utama berupa bauksit salah satunya.
Gubernur Kalimantan Barat Sutarmidji mengatakan, pendapatan ekonomi Kalbar yang dibutuhkan ekspor hanya bauksit karena pasarnya terbuka, hal tersebut dibuktikan dengan realisasi anggaran sebesar Rp6,08 triliun pada tahun 2022 sebagai capaian positif dari target Rp5,65 triliun.
Sementara itu Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Tohir mengatakan, “pertumbuhan ekonomi tak akan ada artinya juga apabila tidak berdampak pada pembukaan lapangan kerja bagi masyarakat sekitar”. Sehingga apabila pertumbuhan ekonomi daerah menurun, lapangan kerja bagi masyarakat sekitar pun semakin kecil kemungkinannya.
Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Provinsi Kalimantan Barat, Manto mengungkapkan sejak setahun yang lalu dirinya sudah peduli dan khawatir dengan persoalan kebijakan larangan eskpor bauksit mentah. Terutama terkait dampak yang akan ditimbulkan jika kebijakan tersebut berlaku, seperti terjadinya PHK Karyawan.
“Kita tentunya prihatin dan tidak ingin adanya PHK,” kata Manto, Selasa (23/5).
Pihaknya pun telah memanggil empat perusahaan pertambangan yang besar di Provinsi Kalbar yakni PT Cita Mineral Investindo Tbk (CITA) & PT Well Harvest Winning Alumina Refinery, PT Antam Tbk dan PT Indonesia Chemical Alumina (ICA). Keempat perusahaan pertambangan tersebut untuk diskusi perihal kebijakan larangan ekspor bauksit pada Juni 2023.
Disisi lain, salah seorang karyawan di sebuah perusahaan bauksit di Ketapang, Dwi Agus menyayangkan sikap pemerintah yang tidak berpihak kepada rakyat. Pasalnya, akibat dari kebijakan larangan ekspor tersebut, dirinya terancam PHK.
“Mestinya kebijakan pro rakyat, atau ada solusi agar masyarakat tidak ikut terdampak,” ungkap Dwi.
Kehilangan pekerjaan sebuah persoalan baru terhadap para karyawan untuk memulai kembali pekerjaan-pekerjaan yang bisa memperoleh pendapatan untuk kebutuhan keluarga sehari-hari yang wajib dilakukan oleh setiap kepala keluarga.
“Kami harus berjuang untuk tetap memenuhi kebutuhan rumah tangga masing-masing, dimana sebagian dari karyawan tidak tahu harus beralih ke pekerjaan apa lagi,” kata dia.
Untuk itu, dirinya berharap pemerintah mempertimbangkan kembali kebijakan tersebut, karena ada ribuan masyarakat yang mencari nafkah dari industri pertambangan ini.
“Kami semua enggak tidur sebulan ini mikirin nasib. Ya memang namanya rezeki Tuhan yang atur tapi kita sedih sekali ini terjadi,” tuturnya.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengungkapkan pihaknya akan mempertimbangkan relaksasi ekspor bagi perusahaan tambang yang mempunyai progres cukup baik dalam pembangunan smelter.
Ketua Indonesia Mining & Energi Forum (IMEF) Singgih Widagdo juga menilai pemerintah bisa saja memberikan relaksasi ekspor untuk komoditas bijih bauksit seperti apa yang telah diputuskan untuk konsentrat tembaga. Namun demikian, hal tersebut harus diawali dengan audit detail terkait peta jalan smelter yang dimiliki oleh perusahaan.(twh/chm)