Kolase Foto - Wapemred tvonenews.com Ecep S Yasa, background peserta lari One Run 10K.
Sumber :
  • tim tvonenews

Solilokui

Jumat, 2 Juni 2023 - 15:45 WIB

Setelah akhir pekan lalu gelaran OneRun 10K akhirnya terlaksana, saya diliputi perasaan bahagia sekaligus sedih. Bahagia karena ajang lomba lari itu berlangsung sukses, 4000-an pelari dari seluruh Indonesia antre mengular hanya untuk mengelilingi landmark kota di kawasan Epicentrum, Jakarta. Di atas podium saya sedikit berbangga, meski baru pertama kali, agaknya ini ajang lari yang layak dikenang.
 
Sedihnya, karena baru kali ini saya merasakan megahnya vibes lomba lari, tetapi tidak bisa ikut serta sebagai seorang peserta. Dengan ngungun saya memandang teduhnya pohon-pohon rindang usai diguyur hujan semalaman, embun pada ujung daun di sepanjang pagar hidup di pinggir sungai yang didesain indah oleh Gubernur Jabar, Kang Emil. Sungguh pemandangan pagi yang nyaman untuk mengeluarkan hormon endorfin. 
 
Sejujurnya, Saya merasa kehilangan salah satu “kemewahan” yang saya rasakan saat berlari: berdialog dengan diri sendiri. Meski dua orang berlari bersama, setiap pribadi akan mengalami pengalaman berbeda. Bagi saya, berlari mungkin seperti nggremeng, mematut matutkan diri di depan kaca atau bermonolog. Semacam solilokui. Bahasa Indonesia punya kata  yang cermat merumuskannya: nglangut. Ini semacam aktivitas  merenung, melamun, memikirkan hal hal yang sangat jauh.
 
Saat nafas tinggal satu satu, tersaruk saruk, menyeret nyeret kaki yang semakin terasa berat, saya sering berpikir, mulai hal hal yang sepele: untuk apa saya melakukan olahraga setiap hari, hingga hal hal lebih hakiki, seperti kenapa saya ada di Jakarta meninggalkan Kota Tasik yang damai, atau bahkan berpikir soal kenapa saya yang sebenarnya hanya debu jika dibandingkan jagat raya yang sedemikian besarnya ini terlempar ke dunia.


Jurnalis Senior Sekaligus Wakil Pemimpin Redaksi tvOnenews.com,  Ecep S. Yasa
 
Entah kenapa, yang lebih sering muncul pertanyaan soal sangkan paran, siapa saya sebenarnya, dari mana saya berasal, akan ke mana saya pergi. Pada pertanyaan eksistensial itu, saya harus menemukan jawaban yang kokoh untuk diri saya. 
 
Momen lari memberikan saya keindahan untuk kontemplasi. Barangkali mirip ketika orang-orang kota berbondong bondong mempelajari meditasi vipassana di pusat pusat pelatihan meditasi di seluruh dunia. Salah satu teknik meditasi paling kuno di India yang diajarkan Tuan Goenka ini, mengajak setiap orang mengubah diri sendiri melalui pemusatan perhatian pada hubungan mendalam antara pikiran dan tubuh.
 
Eling. Ada bait bagus dari Pujangga Kasunanan Surakarta Raden Ngabehi Ronggowarsito  dalam Serat Kalatidha: begja-begjaning kang lali luwih begja kang eling lan waspada. Artinya, betapa bahagianya orang yang “lupa”, tetapi lebih berbahagia mereka yang “sadar” dan “waspada”.
 
Berlari membawa saya pada keadaan sadar dan waspada semacam itu. Pasalnya, banyak orang tergelincir hanya karena kehilangan kesadaran diri. Terbaru misalnya, kasus Irjen Polisi Teddy Minahasa yang harus ditanggalkan oleh seluruh seragam kepolisian kebanggaannya, setelah dipecat dari korps Bhayangkara.

Sebelumnya, Teddy juga divonis penjara seumur hidup oleh majelis hakim setelah terbukti menukar barang bukti sabu dengan tawas untuk dijual. Penetapan tersangka Teddy hanya berselang empat hari setelah ditunjuk Kapolri menjadi Kapolda Jawa Timur. 

Hidup seketika meluncur ke jurang terdalam, dari hero to zero. Sebelum Teddy, kita tahu hal yang sama menimpa mantan petinggi kepolisian yang lain berpangkat Irjen Polisi, Ferdy Sambo. Sambo tak hanya dipecat dari korps baju cokelat, dia bahkan divonis hukuman mati oleh majelis hakim lantaran didakwa sebagai otak dan pelaku di balik pembunuhan berencana. Semestinya, baik Teddy maupun Sambo, tinggal beberapa langkah lagi menuju puncak karir. Namun, keduanya malah terjerembab hanya karena faktor “lupa”. 
 
Alpa memang sifat manusia. Berdosa bagi saya sangat manusiawi. Seperti dalam sepotong sajak Subagio Sastrowardoyo: “…melalui dosa, kita bisa dewasa.” Seperti Bukit Tursina bagi Nabi Musa atau Gua Hira bagi Nabi Muhammad saw, setiap orang memiliki “ruang sunyinya” masing masing, tempat ia menemukan siapa dirinya.
 
Dan, saya selalu merasa diingatkan terus menerus oleh ucapan yang sama dari Ibu ajimat saya untuk selalu sadar dan waspada. “Kahade, hidep kudu eling jeung waspada, artinya awas, kamu harus selalu sadar dan waspada.” Sama ketika saya saat berlari, saya merasa diri ini lemah, senantiasa mudah tergelincir, tempatnya lupa dan semua hal-hal manusiawi lainnya. (KC)

Berita Terkait :
Topik Terkait
Saksikan Juga
03:16
43:11
04:17
01:49
02:45
04:20
Viral