Kolase Foto -Wapemred tvonenews.com Ecep S Yasa, background teater Soekarno di Ende..
Sumber :
  • tim tvonenews

Teater Soekarno

Senin, 5 Juni 2023 - 09:07 WIB

Ketika Soekarno berada di titik nadir jalan hidup, dalam pembuangan di Ende, Flores Nusa Tenggara Timur, dunia politik tak menemaninya. Tak ada Gatot Mangkupraja, Maskun Sumadiredja, atau Supriadinata, teman-teman sesama pesakitan di pengadilan kolonial di Jalan Landraad, Bandung.

Tak Terlihat Anwari, Ishaq, Suyudi atau Sartono, rekan rekan saat ia pada 1927 mendirikan Partai Nasional Indonesia.

Berangkat dari Surabaya, Jawa Timur dengan kapal K.P.M van Riebek menuju Ende pada Februari 1934, Soekarno memang “cukup beruntung” tak dibuang ke kamp konsentrasi seperti Digul di Papua. 

Ia tak seperti sekondannya dalam revolusi, Sjahrir, Hatta atau 2.600 tahanan politik lain yang dikirim Belanda ke gulag setelah pemberontakan PKI 1926. Di Tanah Merah banyak tapol dibiarkan meninggal dunia karena siksaan fisik, kerasnya alam dan buasnya binatang di sekitar kamp.

(Dok - Soekarno saat menjalani masa pengasingan di Ende. Sumber: Kemdikbud)

Sementara Soekarno “dibunuh” dengan rasa sepi, diasingkan ke pulau kecil, dengan penduduk 5000 jiwa yang hanya butuh beberapa jam saja untuk mengelilinginya dengan menggunakan mobil jeep.

Tinggal hanya bersama Inggit Garnasih, Soekarno benar terisolasi dari dunia luar. Pergi ke manapun, ia selalu dibuntuti oleh dua orang polisi kolonial. 

"Aku kembali terpenjara, dengan sel yang lebih besar," ujar Soekarno dalam buku Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat yang ditulis Cindy Adam. 

Sama sekali tak ada alat komunikasi, tak ada telepon atau kantor telegraf. Satunya kontak dengan dunia luar hanya lewat dua kapal pos yang datang sebulan sekali. Artinya hanya dua kali dalam sebulan, Bung Karno menerima informasi dari Jawa lewat surat surat dan surat kabar.

Menurut peneliti sosial asal Nusa Tenggara Timur, Daniel Dhakidae, Flores adalah pulau dengan sejarah tertaklukan. Hampir tak ada perlawanan apapun dari warga pulau di Provinsi Nusa Tenggara Timur ini untuk melawan kolonialisme. 


(Dok. Bung Karno saat menjalani masa pengasingan di Ende. Sumber: Kemdikbud)

Tak pernah tercatat sejarah adanya organisasi lintas suku, agama, bangsa yang menyatukan warga Flores untuk mempertanyakan kolonialisme. Belanda sangat berhasil membuat pulau ini apolitis. Warganya diikat dengan perjanjian oleh Belanda, dikondisikan hanya akan peduli dengan perdagangan kopra.

Tinggal di Ambugaga, di sebuah kampung dengan rumah rumah pondok beratap ilalang, tanpa listrik dan air bersih; yang jika ingin mandi, mesti pergi ke Wola Wona, sebuah sungai yang mengalirkan air dingin; Soekarno di Ende seperti berhenti sebagai mitos.

Ia merasakan jadi kepala keluarga yang harus bekerja berjualan kain, karena santunan dari Belanda tak cukup untuk menopang kehidupan sehari hari. Ia dijauhi oleh orang-orang kaya setempat yang antipolitik karena hidupnya sebagai kaki tangan Belanda. Ia hanya bisa bergaul dengan kalangan bawah, nelayan dan petani yang tak dapat membaca dan menulis. 

Satu satunya yang bisa ia lakukan dalam kesepiannya adalah bermain teater, dan sejarah lalu mencatat Soekarno menggeluti dunia panggung dengan sangat serius. 

“Aku memerlukan pendorong, jika tidak aku akan mati,” katanya tentang keterlibatannya dengan dunia panggung.

(Dok - Soekarno saat menjalani masa pengasingan di Ende. Sumber: Kemdikbud)

Mulanya Soekarno menulis naskah Dr Setan. Ia mengaku terinspirasi dari Frankenstein. Alkisah, Boris Karloff, tokoh utama dalam naskah berusaha menghidupkan mayat dengan melakukan transplantasi hati dari orang hidup. Soekarno ingin memberi pesan, tubuh Indonesia yang sudah tak bisa bernyawa dapat bangkit dan hidup lagi.
 
Kota, seorang nelayan yang sering berkunjung ke kediaman Soekarno diajaknya bermain teater, Soekarno melatihnya mengucapkan dialog dialog. Kota lalu mengajak Darham, tukang jahit setempat. Secara getok tular perekrutan terjadi hingga berkumpul sekitar 50 orang. Perlahan lahan dunia baru Soekarno tumbuh.  

Soekarno lalu mendirikan Perkumpulan Sandiwara Kelimutu (Kelimutu Toneel Club). Namanya diambil dari danau tiga warna di Flores. Seperti layaknya Rendra, Arifin C Noer atau Teguh karya dalam sejarah teater modern Indonesia, Soekarno berlatih bersama dengan seluruh anggota teaternya setiap hari. 

Kadang latihan berlangsung hingga jauh malam, hanya diterangi dengan sinar bulan, Soekarno membacakan satu satu petikan naskah pada pemainnya pemainnya. Mereka berlatih menghapal dan mengucapkannya di depan Soekarno secara berulang ulang.

Tak hanya melatih dialog, Soekarno juga menyusun pengadeganannya dengan detil. Ali Pambe, seorang montir mobil yang diberi peran orang yang meninggal, dicontohkan oleh Soekarno bagaimana caranya berbaring di pinggir pantai. Lebih repot, suatu kali, Ali Pambe mendapatkan peran sebagai penerjemah dari Bahasa Ende ke Bahasa Flores. Jatuh bangun Soekarno mengajari Ali Pambe bahasa Indonesia sebelum tampil di panggung.

(Dok. Soekarno bersama para pemain teater saat menjalani pengasingan di Ende. Sumber: istimewa)

Soekarno harus memutar otak lebih dalam karena seluruh pemain di groupnya adalah laki laki. Tidak seorang pun perempuan di Flores yang mau bermain teater karena saat itu, perempuan tak boleh tampil, lagi pula kebanyakan mereka takut dengan Soekarno.

Sebuah gudang  di dekat gereja, ia sewa, lalu disulap Soekarno menjadi gedung pertunjukan sederhana bernama Immaculata. Biaya sewanya didapat dari penjualan karcis. Penonton pertunjukan Teater Kelimutu cukup loyal. Setiap pertunjukan bisa digelar selama tiga hari dengan penonton sekitar 500an orang semalam. Bahkan, orang orang Belanda yang sinis pada Soekarno pun tak jarang ada di antara kerumunan penonton. 

“Kadang kadang mereka tertawa terpingkal pingkal, kadang kadang muka mereka (Belanda) memerah oleh sindiran drama drama kami,” ujar Riwu Ga, salah satu aktor Teater Kelimutu dalam buku Riwu Ga, 14 Tahun Mengawal Bung Karno yang ditulis Peter Rohi.

Soekarno juga memikirkan segala  detail pertunjukan. Ia mendesain kostum dan mendekor panggung pertunjukan. Kemampuan melukisnya berguna saat harus menggambari dinding belakang panggung menjadi seperti hutan atau sebuah istana atau apapun kebutuhan pertunjukan. Bahkan, untuk memberi hiburan saat jeda pertunjukan, Soekarno meminta pemainnya masuk ke panggung menyanyikan lagu lagu keroncong.

(Dok. Soekarno bersama keluarga saat menjalani pengasingan di Ende. Sumber: istimewa)

Membaca kembali kisah pergulatan Soekarno dengan teater di bulan Juni ini yang dikenal sebagai Bulan Bung Karno, saya kemudian seperti terlempar ke masa kuliah di UIN Purwokerto, Jawa Tengah. 

Saat itu lantaran keasyikan menggeluti teater, saya bahkan hampir lupa bahwa batas studi dari orang tua sudah hampir selesai (7 tahun). Saat itu, bersama sejumlah rekan lain, saya memang lebih banyak “berproses” di Teater Didik yang ikut saya dirikan, dibandingkan di kelas mengikuti perkuliahan. 

Berbagai naskah pernah kami mainkan, baik naskah standar Barat atau naskah buatan sendiri. Repertoar repertoar itu kami panggungkan tak hanya di dalam universitas, tapi juga kampus kampus tetangga seperti Universitas Muhammadiyah Purwokerto, Universitas Jenderal Soedirman hingga UIN Sunan Kalijaga di Yogyakarta. 

Bahkan pernah kami pentas di Markas Korem 071 Wijayakusuma. Saya merasa salah satu kenekatan dalam hidup adalah mengkritik pengapnya hidup di masa Orde Baru, tapi di markas dan di hadapan prajurit prajurit ABRI. Jika penguasa tak berkenan, tentu saya dan pentolan pentolan Teater Didik bisa dikenakan pasal pasal subversi. 

(Ecep S.Yasa saat bermain peran di teater kampus saat mahasiswa. Sumber: istimewa)

Dunia teater juga membawa pada petualangan lain: aktivisme mahasiswa. Saya gemar membaca puisi di unjuk rasa mahasiswa yang rutin di gelar di kampus di sekitar medio 1990-an yang memprotes Dwifungsi ABRI, menyerukan Golput dan menolak 5 paket UU Politik ketika itu.  

Pada salah satu unjuk rasa di dekat alun alun kota Purwokerto, saya tertangkap, dilemparkan ke mobil bak terbuka milik polisi, diarak keliling kota, dan berakhir menginap di hotel prodeo untuk beberapa hari sebagai tersangka.  

Tapi, biarlah, itu bagian dari masa muda, masa penuh gairah, era tak ada beban hidup selain kewajiban menyelesaikan studi untuk “dihadiahkan” pada kedua orang tua.  Bukankah, menurut Soekarno anak muda harus berani vivere pericoloso, hidup harus berani menyerempet bahaya.

Demikian, dengan Teater Soekarno seperti terlahir kembali. Ia menemukan kembali gairah pada kehidupan. Cita cita politiknya untuk membebaskan bangsanya dari penjajahan kembali menyala. Grup teaternya adalah “organisasi politik” pertama di Flores yang lintas suku bangsa. Ada orang Jawa, Palembang, Ende, Sabu dan Rote. Bahkan ada dua warga keturunan Tionghoa yang terlibat, Go Djoen Pio dan Jo Ho Sioe.  


(Dok. Ecep S Yasa sedang berorasi di tengah unjuk rasa mahasiswa. Sumber: Istimewa)

“Aku akan membentuk masyarakatku sendiri dengan pemetik kelapa, supir, tukang jahit, bujang yang tidak bekerja inilah kawan kawan aku,” ujar Soekarno.

Saat berada di titik nadir inilah, di bawah pohon sukun (klewih) tempat favoritnya untuk berkontemplasi karena di tempat ini ia bisa langsung melihat laut lepas dengan ombak ombaknya yang terus menerjang nerjang pantai, Soekarno bergulat memikirkan dasar dasar berbangsa, termasuk Pancasila. (KC)

 

Berita Terkait :
Topik Terkait
Saksikan Juga
01:41
03:04
02:15
03:41
21:38
05:31
Viral