- tim tvonenews
Musim Kawin
Setiap berlari--salah satu olahraga favorit saya--, saya selalu menggunakan jam pintar. Mereknya bisa apa saja. Saya tidak sedang bicara benda, tapi fungsi.
Saat memacu tubuh, sambil memikirkan banyak hal (saya selalu banyak menemukan ide ide ketika berlari) seringkali jam pintar saya berteriak. Saat seperti itu, saya harus segera memperhatikan interupsi jam yang memang cerewet ini (mengingatkan apa saja, kualitas tidur, kecepatan, jarak, hingga mengingatkan detak jantung), dan melihat apa yang dikatakannya.
Yang paling sering, benda ini mengingatkan saya akan detak jantung yang terlampau kencang.
Ini artinya, saya berlari cukup cepat di waktu yang cukup lama. Saya tak bisa abaikan apapun perintahnya. Dalam kondisi apapun, segembira apapun, setertantang bagaimanapun saya saat berlari, saya harus berhenti.
Jeda. Tak ada tawar menawar. Saya pasrah, menarik nafas dalam dalam, menghembuskannya perlahan lahan. Berharap detak jantung akan kembali normal.
(Ilustrasi - Atlet memantau detak jantung melalui jam kesehatan. Sumber: pixabay)
Setelah semua normal, saya baru akan memulai lagi aktivitas berlari. Perlahan lahan, lalu lebih cepat, cepat dan akhirnya berhenti sesaat untuk memulai lagi. Begitu biasanya.
Perilaku di lintasan lari bagi saya tak ubahnya tindakan di gelanggang kehidupan.
Seringkali ada orang-orang tertentu yang selalu ingin terus berpacu di arena—apapun arenanya, dalam kondisi apapun. Tengok misalnya keramaian dalam "musim kawin" untuk gelaran Pemilihan Presiden 2024 belakangan ini.
Tanpa mengukur diri, mematut matutkan diri di depan kaca, sejumlah tokoh publik terus saja merangsek, atraktif, meminta diperhatikan terus menerus, senantiasa ingin selalu berada di orbit kekuasaan.
Saya jadi ingat dua burung Murai Batu peliharaan saya—Bawor 1 dan Bawor 2–yang setiap pagi, saat keduanya tengah manggung di dalam sangkar, suara mereka nyaring bersautan, gerakan mereka lincah, loncat sana dan sini.
(Ilustrasi - Murai Batu. Sumber: istimewa)
Seorang tokoh yang dalam survei-survei selalu memperoleh nilai satu koma (nasakom), masih saja memaksakan diri untuk ikut dalam ajang perjodohan. Hanya karena dia mampu membayar konsultan politik, mereka tidak berpikir, mungkin masyarakat jengah dengan "syahwat politik" yang terlampau besar. Pokoknya, selalu merasa bisa.
Sudirman Said, dalam pengakuannya, menceritakan bagaimana seorang pejabat "mengganggu" bakal Capres Anies Baswedan.
Sang Pejabat selalu tak habis akal untuk menawarkan banyak hal, sejak kedudukan, jabatan, posisi di pemerintahan, hingga tawaran material lain hanya supaya salah satu parpol mundur dan "tiket" Sang Capres lepas dari tangan.
Sang pejabat itu mungkin saja hanyalah orang suruhan dari pihak paling berkuasa lain. Masih segar dalam ingatan bagaimana suara suara menunda pemilu atau presiden tiga periode, meski jelas jelas mengangkangi konstitusi, ternyata pernah sangat nyaring diteriakkan.
Saya juga jadi ingat dua Presiden kita dengan masa jabatan terpendek, tapi meninggalkan istana dengan kepala tegak: B.J Habibie dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Senyum Habibie tak pernah lepas meski hanya menjabat 1,5 tahun dan jadi Presiden tersingkat sepanjang sejarah Indonesia. Wajahnya tidak seperti kehilangan apapun.
Begitu pun Gus Dur ia keluar istana dengan legowo. Ia melarang pendukungnya datang ke Jakarta mempertahankan kekuasaannya. "Ada yang lebih penting dari politik, yaitu kemanusiaan," ujar Gus Dur.
(Ilustrasi - Seseorang sedang memainkan permainan catur. Sumber: pixabay)
Penguasa mungkin merasa jabatan, kekuasaan adalah sesuatu yang melekat pada dirinya. Kekuasaan dalam bahasa Indonesia juga disebut daulat --yang kita pinjam dari Bahasa Arab: dawlah--. Secara etimologis, dawlah mempunyai makna "giliran" atau "putaran".
Pengertian ini, misalnya termuat dalam surat Al Hasyr/59:7: "Agar supaya (harta kekayaan) tidak menjadi putaran pada orang orang kaya di antara kamu saja...".
Misalnya, sacara harfiah ada ungkapan Dawlah Abbasiyah, artinya giliran klan Abbasiyah berkuasa. Ada Dawlah Umayyah di Damaskus, artinya klan Umaiyyah yang sedang berkuasa. Ada pula Dawlah Abbasiyah dan Dawlah Ayubbiyah dengan arti yang sama.
Konsep paling mendasar dari daulat adalah kekuasaan itu dipergilirkan, kekuasaan itu tidak langgeng milik pribadi atau kaum. Kaum penguasa memiliki kekuasaannya karena kebetulan ia mendapatkan "putaran" atau "giliran".
Bukankah kita diajari untuk berdoa: "Ya Allah, pemilik segala kekuasaan! Engkau berikan kekuasaan pada siapapun yang Engkau kehendaki, dan Engkau copot kekuasaan pada siapapun yang Kau kehendaki. Engkau muliakan siapa saja yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan siapa saja yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebaikan! Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu" (QS. Ali Imran/3:26)
Seperti dalam lomba lomba lari yang pernah saya ikuti, saya selalu memperhatikan sinyal sinyal tubuh yang semuanya terpantau dan dilaporkan dengan “cerewet” oleh jam pintar di tangan saya. Karena jika tidak memperhatikan kode kode tubuh, dampaknya bisa fatal, bisa bisa kita mengalami black out, hilang kesadaran.
(Ilustrasi - Seseorang mengalami "black out" dan hilang kesadaran. Sumber: istimewa)
Nah, pada politisi-politisi yang selalu memaksakan diri, terus “nggege mongso” kata orang Jawa, untuk terus tampil, saya belum tahu dampaknya. Semoga tak sefatal seperti dalam arena olahraga: black out dan hilang kesadaran. (*KC)