- tim tvonenews
Zaqout
Namanya Ahed Zaqout. Di lapangan hijau ia kontras dengan 10 pemain lain karena rambutnya pirang dan matanya biru. Kita selalu terkenang perannya sebagai kapten dan larinya yang sangat cepat sebagai gelandang. Ketika membela negaranya dalam tanding persahabatan melawan Prancis, beberapa kali ia memenangi duel di udara dengan bintang dunia Michael Platini.
Di negerinya ia atlet yang “lurus”. Ia tak seperti petinju Muhammad Ali, misalnya yang selain bicara soal musuh musuhnya di ring tinju, juga gemar bersuara mengkritik rasialisme.
Hidup di zaman malang dengan kekerasan yang dianggap sah dan wajib, Zaqout sebenarnya punya alasan untuk bersikap seperti mayoritas anak anak Gaza lain: melawan pendudukan Israel.
Jabra Ibrahin Jabra, penyair kelahiran Palestina yang kini tinggal di Irak, dalam Di Gurun Gurun Pengasingan menyebut Palestina dengan:
“Tanah kami zamrud berkilauan,
tetapi di gurun gurun pengasingan. Musim semi demi musim semi,
hanya debu yang beriut di wajah kami…”
(Ahed Zaqout (kiri). Sumber: humanizepalestina.com)
Namun, Zaqout tak pernah bicara politik semacam itu, apalagi bersuara pada kekerasan.
Pada wartawan yang sesekali merubungnya usai bertanding, Zaqut pernah berujar, ia hanya ingin bermain sepak bola saja. Dan ia membuktikannya: setelah tak aktif merumput, Zaqout hanya melatih klub kecil sambil nyambi bekerja sebagai penyiar olah raga.
Pendeknya, Zaqout adalah sebuah teladan hidup yang lempang.
Tapi, di negeri tanpa bangsa, Palestina, tindakan “netral” sekalipun tetap jadi korban. Pada sebuah Rabu celaka, Zaqout ditemukan tewas di tempat tidur dengan tubuh koyak. Pada sebuah serangan, bom Israel menghantam apartemennya.
Esoknya koran koran menulis tewasnya Zaqout sebagai kehilangan besar di negeri yang sangat miskin cerita pahlawan di lapangan hijau. Zaqout yang pernah berduel di udara dengan Michel Platini (sehingga mereka sebagai bangsa merasa setara dengan bangsa lain di dunia) ikut jadi korban kebiadaban itu.
Sepak bola tak pernah jadi permainan yang “normal” di Palestina, bahkan untuk anak anak. Di kawasan Maale Adumim, Yerusalem, yang merupakan kawasan rampasan Israel, anak anak yang bosan melihat lalu lalang tank dicegat tentara saat hendak memainkan si kulit bundar. Diskriminasi hanya dilawan oleh anak anak dengan meninggalkan tempat sambil bernyanyi-nyanyi, “Infantino, biarkan kami bermain.”
Iya, selalu ada ada otoritas yang menyeleksi siapa yang bisa bertanding atau tidak di laga sepak bola di Palestina. Dalam kejuaraan Palestina Cup, misalnya ada 15 pemain klub Shabaab Rafah dan klub Ahly al Khalil asal Hebron yang tak dibolehkan bertanding. Yang dilarang berlaga termasuk penjaga gawang. Bagaimana laga puncak itu akan dilangsungkan tanpa kiper dan penyerang?
(Kolase Foto. Ahed Zaqout (kiri), ledakan bom yang menewaskan Ahed Zaqout (kanan). Sumber: humanizepalestina.com)
Sementara klub klub Israel, Kiryat Arba, Givat Zeev, Maale Adumim, Ariel, Oranit and Tomer bebas memasuki tanah Palestina secara ilegal. Protes tentu dilayangkan Palestine Football Association berulang kali melaporkan agar FIFA menindak klub Israel yang berbasis di wilayah pendudukan Tepi Barat. Tapi, di hadapan FIFA , keberatan semacam ini pasti tak mendapat jawaban.
Dengan latar semacam ini, laga Timnas Indonesia kontra Palestina akhir pekan lalu seperti pertemuan antara dua sahabat lama. Pemerintah Kota mengadakan jamuan makan menyambut ofisial dan pemain Palestina di Balai Kota dengan meriah.
Sejarah Palestina sebagai salah satu negara pertama yang mengakui kemerdekaan Republik terasa hidup kembali. Pengamat menyebut pertandingan merupakan bagian amanat konstitusi, mendukung perjuangan Palestina melawan penjajahan Israel.
Sejak awal pelatih dan pemain kedua tim saling puji. Bendera Palestina dibentangkan suporter Indonesia di Stadion Gelora Bung Tomo.
Asisten Wakil Presiden Asosiasi Sepak Bola Palestina (PFA) Susan Shalabi menyebut laga melawan Timnas Indonesia bukan untuk menang dan kalah, tapi untuk menegaskan persaudaran sejati. Mereka ingat bagaimana Indonesia rela “melepaskan” tuan rumah Piala Dunia U-20 karena menolak Timnas Israel bertanding di Indonesia. “Kami sangat respek,” ujar Susan.
Meski saling serang dengan sengit, pertandingan akhirnya juga bersih tanpa gol, namun solidaritas sudah digalang: 10 persen hasil penjualan tiket yang ludes dalam hitungan menit diberikan untuk Palestina.
(Pemain Timnas Indonesia Muhammad Dimas Drajad (tengah) melewati pemain Timnas Palestina Mohammed Saleh (kiri) dan Yaser Hamed (kanan). Sumber: ANTARA)
Kurang dari sepekan setelah bertanding dengan Palestina, Timnas Indonesia juga akan menjamu tim kelas satu dunia: Argentina. Kali ini pertandingan akan digelar di Stadion Utama Gelora Bung Karno Jakarta.
Entah kebetulan atau tidak, kedua negara yang dihadapi Indonesia adalah negara yang secara serampangan dan diskriminatif disebut pengamat Barat sebagai “dunia ketiga,” sebuah terminologi bagi bangsa-bangsa yang pernah terjajah dengan kondisi masih “terbelakang” dan tengah berjuang mewujudkan kesejahteraan dan kedaulatan negara.
Argentina bagian dari Amerika Latin, sebuah benua yang sebagian besar anak anaknya menghabiskan waktunya di kebun kebun tebu dan tidur malam di pondokan di tepi sungai dari pada di sekolah. Mereka malas sekolah karena kelelahan bekerja. Tapi, yang lebih pasti: sekolah ternyata tak memperbaiki nasib secara jitu, pendidikan di ruang kelas tak mengubah jalan hidup, mimpi mimpi untuk jadi “kaya”, “terhormat” tak tercapai dengan membaca buku.
Karena itu pada 1978 di benua ini ada sekolah jenis lain: tahuichi. Sekolah bola di pinggir kota Santa Cruz hingga kini telah mendidik 10.000 anak anak miskin yang biasa bermain sepak bola di jalanan; bocah bocah dengan luka borok di sekujur kaki ternyata sangat lincah menggiring bola. Mereka hanya membayar uang sekolah 10 dollar sebulan, namun sebagian besar siswanya menunggak uang spp itu hingga bertahun tahun.
Bintang bintang sepak bola Amerika Latin, seperti Marco Etcheverry, Erwin Sanches hingga Ramiro Castillo adalah bocah bocah miskin yang direkrut oleh lembaga yang didirikan Ronaldo Aguilera, pengusaha kaya putra mantan pemain sepak bola Ramon Aguilera itu.
Dilahirkan dari ayah pekerja pabrik dan ibu seorang pembantu rumah tangga, bintang Argentina Lionel Messi misalnya tak mampu mengobati sakit kelenjar hormon pertumbuhan yang dideritanya ketika kecil di Rosario, Argentina.
(Pemain timnas Argentina Alejandro Garnacho (kedua kiri) mengikuti sesi latihan di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta, Minggu (18/6/2023). Sumber: ANTARA)
Maradona ketika kecil sempat dipaksa menjadi akuntan karena ayahnya yang tukang batu di Buenos Aires dicap sebagai salah satu orang paling miskin di wilayahnya.
Sebelumnya penjajahan Spanyol memang telah menghisap habis habisan Argentina (juga Amerika Latin secara keseluruhan). Sejarawan Spanyol, Gonzalo Fernandez de Oviedo pernah menuliskan kekejian kolonialisme Spanyol di Amerika Latin. Penduduk asli diminta menambang emas dengan kondisi menyedihkan. Mereka ditelanjangi diterjunkan ke tambang tambang yang mirip kamp kamp kerja paksa hingga menemui ajal karena kelelahan. Sebagian besar warga lokal yang tak kuat memilih mati bunuh diri massal untuk menghindari kekejaman Spanyol. “Mereka melakukannya dengan apa saja, meracuni diri sendiri atau gantung diri,” ujar Gonzalo.
Indonesia salah satu korban kolonialisme yang paling suram. Di beberapa daerah, penjajah menghisap kekayaan Republik hingga 350 tahun. Bahkan setelah 78 tahun, baru beberapa waktu lalu ada pemberitaan di Belanda jika Perdana Menteri Mark Rutte akhirnya mengakui kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.
Demikian, bagi saya, apa yang dialami Timnas Indonesia pekan pekan ini: bertanding persahabatan dengan sesama negara bekas terjajah, sesama bangsa kulit berwarna seperti mengobarkan lagi semangat Dasasila Bandung sekitar 68 tahun silam, hanya kali ini di lapangan sepak bola. (Ecep Suwardaniyasa Muslimin)