- BP2MI
Polri Diminta Usut TPPO, LSM Ini Soroti Biaya Penempatan Pekerja Migran di Taiwan
Jakarta, tvOnenews.com - Komisi Nasional Lembaga Pengawasan Kebijakan Pemerintah dan Keadilan (Komnas LP-KPK) mengapresiasi kinerja Satuan Tugas (Satgas) Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) Polri yang telah menyelamatkan 1.982 orang Pekerja Migran Indonesia (PMI) dan telah menangkap 714 tersangka dalam kurun waktu satu bulan terakhir. Karo Penmas Humas Polri Brigjen Ahmad Ramadhan mengatakan penangkapan tersebut dilakukan setelah Satgas menerima 616 laporan kasus TPPO hingga 4 Juli 2023.
Namun ada dugaan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) yang terselubung dan sengaja disembunyikan oleh oknum yang saat ini menikmati hasil bancakan para sindikat mafia TPPO melalui praktik penjeratan utang kepada para PMI ke negara tujuan seperti Korea, Taiwan dan Hongkong yang setiap bulannya berkisar 5.000 orang diarahkan untuk masuk dalam Koperasi Simpan Pinjam.
"Mereka melakukan aksinya secara terselubung dan seakan dihalalkan melalui keputusan kepala BP2MI, padahal Perintah UU No 18 Tahun 2017 Pasal 30 sudah sangat jelas bahwa Pekerja Migran Indonesia (PMI) tidak dapat dibebani biaya penempatan, jadi keputusan kepala BP2MI untuk penempatan ke negara tujuan Korea, Jepang dan Taiwan di duga telah melawan Undang-undang karena ada dana titipan entrusted fee dan processing fee dari negara tujuan Korea Selatan maupun Jepang disetor ke kas negara sebagai PNBP," jelas Ketua Bidang Advokasi Buruh Migran Nusantara Sarikat Buruh Muslimin Indonesia Nahdatul Ulama (BUMINU SARBUMUSI NU) Abdul Rachim Sitorus, Sabtu (8/7/2023).
Menurutnya, PMI dipaksa berpura-pura bayar Lunas biaya penempatan kepada P3MI sesuai cost structure yang ditetapkan dalam Surat Keputusan Kepala BP2MI No 328 Tahun 2022 dan Kepka BP2MI No 50 Tahun 2023, padahal biaya penempatan sudah ditanggung pemberi kerja dan uang tersebut berasal dari majikan namun seolah-olah dari pihak ketiga.
Sitorus meyakini patut diduga suku bunga subsidi KUR/KTA PMI menjadi bancakan para oknum pejabat dan sindikat mafia TPPO, karena para PMI beserta keluarganya tidak pernah menerima pencairan dana.
"Bahkan kita menduga adanya praktik pencucian uang yang di parkir di bank sebagai avalis bagi pinjaman PMI sejak dari kampung asal," pungkasnya.
Sementara itu, Direktur Sistem dan Strategi kawasan APIK BP2MI, Devriel Sogia menilai tudingan LP-KPK salah alamat. Menurut Devriel, BP2MI tengah merintis jalan mewujudkan pelindungan bagi Pekerja Migran Indonesia (PMI).
"Spirit dari KepKa 328, 785, dan 786 yang dilaporkan LP-KPK ke PTUN salah alamat. KepKa ini adalah wujud dari implementasi pelindungan PMI sesuai amanah yang tertuang dalam UU 18 th 2017. KepKa-KepKa itu mengatur pembiayaan penempatan PMI ke negara-negara penempatan," ujar Devriel yang diketahui sebagai salah satu Direktur yang aktif terlibat dalam pembahasan KepKa tersebut.
Devriel menjelaskan lagi. Seluruh KepKa yang dianggap masalah bagi LP-KPK tersebut merupakan pelaksanaan dari amanah pasal 30 ayat 2 UU 18 tahun 2017. Sehingga tidak mungkin menjadi perbuatan melawan hukum. LP-KPK rupanya tidak mengerti konteks dan psikologis CPMI, tapi diduga berpihak pada perusahaan atau Asosiasi tertentu.
"Ayat 1 dari Pasal 30 UU Nomor 18 tahun 2017 menyebutkan PMI tidak dapat dibebani "biaya penempatan". Biaya penempatan inilah yang diatur Kepala Badan agar masyarakat, baik CPMI maupun calon pemberi kerja dapat mengetahui secara jelas dan transparan besaran biaya penempatan PMI ke suatu negara. Adanya besaran biaya penempatan yang ditetapkan merupakan salah satu upaya pelindungan yang dilakukan bagi CPMI dan calon pemberi kerja," ujar Devriel tegas.
Birokrat yang pernah memangku jabatan sebagai Direktur Penempatan Non Pemerintah kawasan Asia dan Afrika ini mengatakan posisi BP2MI sudah tepat dalam mengeluarkan KepKa. Terkait penjeratan hutang yang dikhawatirkan LP-KPK juga diluruskan Devriel. Disebutnya, BP2MI menawarkan adanya program KTA dan KUR sebagai solusi. Ini jalan untuk memotong mata rantai ijon rente dan rentenir yang membuat CPMI berhutang.
"Dalam KepKa-KepKa tersebut juga secara jelas dinyatakan bahwa komponen dan besaran pembiayaan penempatan PMI merupakan batasan jumlah tertinggi. Yang dapat diartikan bahwa jika Lembaga penempatan menarik biaya lebih besar dari besaran biaya yang ditetapkan dalam KepKa, maka Lembaga penempatan tersebut terindikasi telah melakukan overcharging. Pasti diberi sanksi. Jadi inilah petunjuk dan pembatasan biaya untuk menghindari adanya pasar bebas," tutur Devriel.
Kepka-KepKa tersebut bukan tindakan melawan hukum, lanjut Devriel. Tetapi sebaliknya merupakan upaya nyata perwujudan pelindungan bagi PMI sesuai semangat UU Nomor 18 tahun 2017. (ebs)