- tim tvonenews.com
Korupsi
Tapi, kita paham itu hanya kalimat retoris saja, pernyataan untuk konsumsi pewarta sesaat karena tak ada tindakan lanjutan untuk menelisik dan mengungkapnya lebih jauh setelah pidato dilakukan.
Padahal, perjuangan melawan korupsi adalah perjuangan ingat terhadap lupa. Dulu pernah ada usulan untuk menyadarkan betapa korupsi itu soal soal yang sangat berdampak bagi kemanusian, sehingga sebutan koruptor disebut masih “abstrak’, perlu diubah menjadi maling, garong atau pencuri.
Bahkan, sudah ada kesepakatan, misalnya dari jaringan media Pikiran Rakyat (PRMN) untuk mengganti penyebutan koruptor di media yang mereka kelola dengan sinonim yang lebih sarkas. Namun, kita memang mudah lupa. Saya tak tahu, apakah keinginan tersebut benar dilaksanakan.
Yang jelas, bangsa ini memang dikenal memiliki etika politik lunak, mudah mentolerir bentuk penyelewengan apapun yang dilakukan warga negara. Ada budaya permisif, apapun boleh. Berbeda dengan Jepang, misalnya yang disebut oleh Gunnar Myrdal sebagai salah satu “negeri tegar” (tough state). Pada akhir 1970-an, Perdana Menteri Takeo Miki misalnya mundur hanya karena merasa bertanggungjawab atas kemerosotan popularitas Partai Liberal Demokrat.
Dalam konteks masyarakat beretika lunak, permisif, mudah lupa dan cenderung pemaaf tersebut, mudah dipahami jika ada tren mengembalikan hasil pencurian ketika terendus lembaga penegak hukum.
Beberapa pekan lalu, misalnya, pagi pagi buta seseorang yang hanya disebut pihak “swasta” tiba tiba mengembalikan uang yang diduga sebagian dari aliran korupsi menara BTS Bakti sebesar Rp 27 miliar pada kantor pengacara Maqdir Ismail. Siapapun pemilik timbunan uang dolar yang kini sementara tak berasal usul itu pasti berharap tindakan pidananya “gugur” setelah pengembalian uang, meski telah berjarak sekian tahun setelah tindak kejahatan dilakukan.