- Dok.Wikipedia
Mitos dan Fakta Sosok Westerling, Kapten Belanda Kelahiran Turki yang Menebar Teror di Sulawesi Selatan
tvOnenews.com - Raymond Pierre Paul Westerling, atau Kapten Westerling, lahir di Istanbul, Turki, pada 31 Agustus 1919, merupakan anak kedua dari pasangan Paul Westerling asal Belanda dan Sophia Moutzou, warga negara Turki yang berasal dari Yunani.
“Ibu saya warga negara Turki berdarah Yunani. Ayah saya orang Belanda,” kata Westerling pada jurnalis senior dan sejarawan Salim Said, dalam sebuah wawancara khsusus pada awal musim panas 1970 di Amsterdam.
Karena itu pula ia dijuluki "si Turki". Pria ini di kemudian hari menjadi sosok yang mematikan dan kejam dalam sebuah operasi militer yang dikenang sebagai "Peristiwa Sulawesi Selatan". Operasi ini berlangsung selama 12 minggu, dari 11 Desember 1946 sampai 3 Maret 1947.
Westerling dan pasukannya dari kesatuan Pasukan khusus Belanda atau Depot Speciale Troepen (DST) dalam catatan sejarah tiba di Makassar, Sulawesi Selatan pada Kamis 5 Desember 1946.
Foto: Kapten Westerling saat perpisahan di Mattoangin, 3 Maret 1947 (Dok. Maarten Hidskes)
Pasukan dengan kekuatan 123 personel itu datang dengan membawa misi khusus untuk melakukan "penertiban keamanan".
Maarten Hidskes, dalam bukunya "Di Belanda, Tak Seorangpun Mempercayai Saya" Korban Metode Westerling 1946-1947, diterjemahkan oleh Susi Moeiman, Maya Sutedja-Liem, Nurhayu Santoso, dan diterbitkan oleh Yayasan Obor 2018, menyebutkan, tak semuanya dari 123 personel DST yang dikirim ke Sulawesi Selatan itu orang Belanda.
Sebagian dari pasukan DST itu merupakan pemuda asal Belanda, kebanyakan dari mereka adalah pemuda asal Sunda, Ambon, Manado, Jawa dan Timor. Hanya sekitar 20-an personelnya yang merupakan orang Belanda.
Belakangan, aksi pembantaian Kapten Westerling di Sulawesi Selatan tersebut kemudian menjadi aib yang memalukan bagi pemerintah Belanda.
Mitos dan Fakta Seputar Kapten Westerling
Untuk meningkatkan efektivitas terornya di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat, pembantaian pasukan Westerling didahului dengan kampanye perang urat saraf dan menyebarkan kisah tentang Westerling sebagai sesorang yang memiliki kekuatan magis.
"Disebarkanlah cerita bahwa sang Kapten punya ilmu kebal, juga punya ilmu yang memudahkannya mengetahui siapa yang ekstremis, siapa yang perampok, dan sebagainya." tulis Salim Said, dalam bukunya "Dari Gestapu ke Resformasi".
Foto: Pasukan khusus Belanda atau Depot Speciale Troepen (DST) pimpinan Westerling pada 1946. (Dok. Maarten Hidskes).
Westerling yang kelahiran Istanbul, Turki itu jadi bahan kampanye yang efektif di Sulawesi Selatan yang hampir semuanya penganut Islam yang taat.
"Jadi, ketika rakyat sudah dikumpulkan di lapangan terbuka, secara mental mereka sudah ketakutan." ungkap Salim.
Westerling sendiri membantah cerita-cerita tentang dirinya yang kebal dan punya ilmu gaib sehingga mudah tahu siapa ekstremis dan siapa perampok.
“Itu semua perang urat saraf saja,” kata Westerling sebagaimana yang Ia tuturkan kepada sejarawan Salim Said.
Westerling juga disebut punya kemampuan menembak dengan pistol yang sangat baik. Hal ini tidak dibantah oleh Westerling.
“Di sebuah pasar malam musim panas tahun silam, keterampilan menembak saya ternyata masih prima. Semua sasaran saya tembak dengan tepat dalam tembakan pertama,” katanya dengan bangga.
Waktu di Sulawesi Selatan dulu tersiar cerita Westerling selalu menggantungkan di pinggangnya dua pistol revolver sering memamerkan keterampilan menembaknya dengan menjadikan anak buahnya sebagai sasaran.
Baca Juga: Cerita-Cerita Pilu Tentang 12 Minggu Operasi Pembantaian Kapten Westerling di Sulawesi Selatan
Para anak buah itu konon diperintahkan merentangkan kedua lengan. Menurut cerita yang beredar, peluru dari dua pistol Westerling melesat di celah jari-jari anak buahnya tanpa mencederai seorangpun.
“Ah, itu dilebih-lebihkan,” katanya. Diceritakan bahwa Westerling tahu mana anak buah yang akan nahas kalau ikut operasi, karena itu dilarang ikut, namun hal itu juga disangkal oleh Westerling.
Metode Teror Westerling
Dalam penuturan Salim Said, untuk meningkatkan intensitas teror, Westerling biasanya memilih seseorang dalam barisan rakyat yang telah dikumpulkannya dari berbagai penjuru kota dan desa.
Orang yang dipilih itu dipaksa menunjukkan siapa saja temannya sebagai ekstremis atau perampok. Yang ditunjuk sudah amat ketakutan sehingga tidak bisa membantah dirinya bukan perampok atau bukan ekstremis. Orang tersebut terpaksa menunjuk asal-asalan saja.
Tanpa ditanya, orang yang ditunjuk langsung ditembak de ngan pistol dari jarak amat dekat. Yang menunjuk juga akhirnya di tembak.
Di sebuah desa di Sulawesi Barat penembakan didahului dengan adegan adu jotos antara seorang yang dituduh sebagai ekstremis dan orang yang dengan terpaksa dan dengan penuh ketakutan ditunjuknya sebagai teman sesama ekstremis.
"Kalau yang ditunjuk membantah, dia harus memukul yang menunjuk nya. Maka berlagalah mereka. Setelah kehabisan tenaga, kedua nya dihabisi secara bersamaan dari jarak amat dekat." tulis Salim Said.
Foto: Pembantaian Pasukan Westerling di Alun-Alun Barru, Sulawesi Selatan (Dok.Maarten Hidskes)
Dengan cara-cara demikian, semangat perlawanan betul-betul dicoba untuk dilumpuhkan. Westerling menjadi tokoh yang sangat ditakuti dan disegani pada masa itu.
Namun dikemudian hari, dalam kehidupan masa tuanya, Westerling hidup tersisih. Kebanyakan warga di Belanda menganggapnya sebagai aib yang memalukan atas tindakan yang ia lakukan dalam operasi militer di Sulawesi Selatan.
“Di sini saya tersisih dan dianggap aib yang memalukan orang Belanda.” kata Westerling dengan nada sedih kepada Salim Said.
Westerling diketahui meninggal dunia pada 26 November 1987 di Amsterdam Belanda.(Buz)
Ikuti terus berita terbaru lainnya di kanal YouTube tvOneNews: