- istimewa
Menyibak Sepak Terjang Biro Khusus PKI, Menyusup Dalam Tubuh Angkatan Bersenjata Indonesia Jelang G30S PKI
Dalam barisan Angkatan Darat, Biro khusus mengendalikan para perwira yang pada akhirnya melaksanakan pembunuhan atas para jenderal.
Sebut saja beberapa nama seperti, Letkol Infanteri Untung bin Sjamsuri, dari Pasukan Pengawal Istana Presiden Tjakrabirawa, yang secara ideologis adalah seorang komunis sejak pemberontakan komunis pertama di Madiun tahun 1948.
Kemudian Brigjen Supardjo, yang dididik Sjam sejak tahun 1958, yang mengepalai kelompok oposisi terhadap Jenderal Nasution dalam kalangan AD dan mengomandoi operasi “konfrontasi” terhadap Malaysia di Kalimantan.
Kolonel Latief, Komandan Brigade Infanteri I dari Komando Militer V yang ditempatkan di Jakarta, yang telah untuk beberapa waktu berada di bawah bimbingan Pono.
Foto: Letkol Untung saat menjalani sidang di pengadilan militer - Dok. Arsip Nasional
Lalu ada Marsekal Omar Dhani, Panglima AURI, Mayor Sujono, Komandan Pangkalan Udara Halim dan Kolonel Heru Atmodjo, Asisten Direktur Departemen Intelijen AURI.
Lalu, bagaimana menjelaskan bahwa seorang jenderal, seorang kolonel, seorang letnan kolonel, dan sejumlah mayor, kapten, dan letnan, secara berjamaah menjadikan diri mereka anak buah seorang sipil dalam sebuah operasi militer yang begitu penting dan rumit?
Dalam catatan sejarawan Salim Said pada bukunya "Dari Gestapu ke Reformasi, Serangkaian Kesaksian", terbitan Mizan 2013, pada sidang Mahmillub, Sudisman salah satu toko sentral PKI menegaskan, bahwa Sjam berhubungan langsung de ngan D.N. Aidit. Artinya, Sudisman tidak tahu apa persisnya perintah Aidit kepada Sjam.
Sebagaimana yang disaksikan beberapa tokoh Gestapu yang berada di sekitar Sjam pada pagi hari pertama bulan Oktober di Senko, adalah Sjam yang memerintahkan pembunuhan dua jenderal yang tiba dengan selamat di Lubang Buaya, ketika yang lainnya sudah terlebih dahulu terbunuh di rumah masing-masing.
"Juga perlu dicatat bahwa Brigjen Supardjo, Kolonel Latif, maupun Letnan Kolonel Untung, semua mengaku terkejut ketika tahu terjadinya pembantaian tersebut. Supardjo, Latif, dan Untung memang tidak punya akses langsung kepada pasukan yang bertugas di lapangan pada pagi itu. Ini juga fenomena yang aneh." jelas Salim dalam bukunya.