- Dok. Perpustakaan Nasional
Mengungkap Fakta Dibalik Dokumen Gilchrist dan Isu Dewan Jenderal yang Mendorong Kudeta G30S PKI
tvOnenews.com - Pada bulan Mei 1965, seseorang yang bernama Bahar atau Kahar, mengirim sebuah draft surat ke rumah Dr.Subandrio. Surat itu tertanggal 24 Maret 1965, namun tidak bertanda tangan.
Surat itu diketik pada formulir yang biasa digunakan oleh Kedutaan Besar Inggris di Jakarta. Nama pembuat surat adalah Sir Andrew Gilchrist, Duta Besar Inggris (1963-1966) untuk Indonesia.
Peneliti asal Amerika Serikat, Victor M. Fic dalam bukunya "Kudeta 1 Oktober 1965, Sebuah Studi Tentang Konspirasi", diterbitkan oleh Yayasan Obor Indonesia 2007 dan diterjemahkan oleh Rahman Zainuddin, Bernard Hidayat dan Masri Maris, mengatakan,
"Dokumen itu datang bersama nota penjelasan yang mengatakan bahwa surat itu telah ditemukan di bungalow Bill Palmer di Tugu dekat Bogor, ketika para pemuda yang melakukan demonstrasi mengobrak-abriknya pada tanggal 1 April 1965." tulis Victor M. Fic.
Presiden Soekarno menerima Batalyon 454 pada perayaan untuk veteran pembebasan Irian Barat di Istana Negara, 19 Januari 1963. (Wikipedia)
Bill Palmer sendiri adalah seorang agen pemesanan film Amerika. Surat itu mengatakan bahwa Inggris dan Amerika merencanakan suatu serangan terhadap Indonesia, yang akan dibantu oleh “our local army friends”, yang berarti beberapa orang perwira di dalam komando puncak Angkatan Darat Indonesia.
Meskipun surat itu tidak ada tanda-tangannya, namun Subandrio yakin bahwa surat itu asli, demikian pula Soekarno, yang juga berpendapat sama saat Subandrio menyerahkan surat itu kepadanya.
"Setelah itu muncullah dalam panggung politik itu desas-desus tentang adanya Dewan Jenderal, yang dituduh terdiri dari lima jenderal AD terkemuka yang akan merencanakan kudeta terhadap Presiden." ungkap Victor.
Ambarwulan dan Aminuddin Kasdi dalam buku "Malam Bencana 1965 dalam Belitan Krisis Nasional, Bagian I Rekonstruksi dalam Perdebatan", Diterbitkan pertama kali oleh Yayasan Pustaka Obor Indonesia, menulis,
Dokumen itu diserahkan Subandrio kepada Brigjen Pol. Soetarto, Kepala Staf BPI untuk diperiksa. Ternyata Soetarto tidak memeriksakan keotentikan dokumen itu melalui tes Laboratorium Kriminal Angkatan Kepolisian.
Soetarto menyatakan bahwa dokumen tersebut otentik. Pada 25 Mei 1965 dokumen diserahkan oleh Subandrio kepada Presiden Sukarno.
Keesokan harinya diadakanlah rapat di Istana yang dihadiri oleh para panglima keempat angkatan. Panglima Angkatan Udara Omar Dhani berhalangan hadir, dan diwakili oleh Laksda Sri Moeljono Herlambang.
"Dalam kesempatan itu Presiden menanyakan kepada Letjen A.Yani, apakah ada anggota Angkatan Darat yang mempunyai hubungan dengan Inggris dan Amerika. Letjen A.Yani menjawab, “Tidak ada”." tulis Ambarwulan dan Aminuddin Kasdi.
Isu Dewan Jenderal
Seusai rapat di Istana Merdeka 26 Mei 1965, masalah Dokumen Gilchrist yang menyakitkan itu telah dijernihkan oleh Ahmad Yani, namun tidak demikian halnya dengan Omar Dhani, Panglima AURI.
Omar Dhani tidak yakin bahwa Dewan Jenderal itu tidak ada, meskipun Bung Karno juga telah mengatakan bahwa menurut Yani dewan itu telah dibubarkan.
Menurut pendapat Dhani di tubuh Angkatan Darat terdapat beberapa orang jenderal dan perwira yang menilai kebijaksanaan Bung Karno sebagai Pemimpin Besar Revolusi.
Para jenderal itu dianggap tidak melaksanakan ajaran Bung Karno secara konsekuen, dan dinilai bekerja sama dengan Nekolim.
Merekalah yang oleh Omar Dhani dimaksudkan sebagai Dewan Jenderal, sebagaimana tercantum dalam Dokumen Gilchrist dengan sebutan our local army friends.
Selain Omar Dhani yang terus mempersoalkan Dewan Jenderal, ternyata juga dilakukan Subandrio ketika menyertai rombongan Presiden Sukarno menghadiri Konferensi Asia-Afrika II di Aljazair pada 5 Juli 1965.
"Subandrio memberi keterangan kepada surat kabar Mesir Al-Ahram bahwa pemerintah Indonesia mempunyai bukti persekongkolan Amerika-Inggris terhadap negerinya." ungkap Ambarwulan dan Aminuddin Kasdi.
Selain itu di Kairo, Subandrio juga membagi-bagikan copy dokumen tersebut kepada para peserta konferensi. Dengan demikian, masalah Dokumen Gilchrist telah menyebar ke luar negeri.
Dikutip dari penuturan Victor M Vic, Menurut Sjam Kamaruzaman, Kepala Biro Khusus PKI, Aidit meluncurkan konsep Dewan Jenderal itu untuk pertama kalinya pada bulan April 1965.
Foto: Dok.Salim Said - Dari Gestapu ke Reformasi
PKI berpendapat bahwa pasti ada sebuah badan khusus di dalam staf umum yang memerintah segala operasi politik ini. Badan khusus ini memiliki sebentuk hubungan dengan suatu dewan tertentu, yang keanggotaannya terdiri dari beberapa jenderal.
"Karena keanggotaannya ini, Aidit menamakan dewan ini Dewan Jenderal, yang dianggapnya diberi tanggung-jawab dengan tugas untuk mengatur segala aktivitas politik ini.” tulis Victor.
Menurut Pono, Dewan Jendral itu terdiri dari Jenderal Nasution, Ahmad Yani, Suprapto, Sukendro dan S. Parman. Sedangkan M.T. Harjono, Sutojo dan D. I. Pandjaitan dianggap tidak loyal kepada Presiden dan memiliki sikap anti komunis yang fanatik..
Pemimpin Partai Komunis Indonesia DN Aidit (istimewa)
Victor M. Fic menyebutkan, The Gilchrist Document, sesungguhnya adalah bagian dari beberapa surat palsu yang merupakan garapan dinas intelijen Czekoslowakia dan Soviet.
Gerakan ini dimaksudkan untuk mengenyahkan kepentingan-kepentingan Amerika di dinas intelijen Czekoslowakia dan Soviet yang dimaksudkan untuk mengenyahkan kepentingan-kepentingan Amerika di Indonesia.
Pada tahun 2001 pemerintah Amerika Serikat menerbitkan dokumen-dokumen CIA dan lain-lain yang sudah tidak dirahasiakan lagi (declassified).
Salah satu dokumen CIA, tertanggal 23 Agustus 1965 membahas tentang kekhawatiran Amerika tentang kemana arah Indonesia.
Dokumen tersebut, dikutip dari lampiran dokumen dalam buku Victor M. Fic "Kudeta 1 Oktober 1965, Sebuah Studi Tentang Konspirasi,"
salah seorang diplomat Amerika Serikat, George Ball mendorong upaya baru Departeman Luar Negeri untuk menjawab pertanyaan lama “Ke mana Indonesia?”
Ball menanyakan apakah jika dilihat dari sisi luas wilayah dan perannya, Indonesia secara objektif setara dengan seluruh Indocina?. Konsensus rapat adalah Indonesia memang setara dengan seluruh Indocina.
Ball kemudian menanyakan, bukankah “pengambil- alihan oleh kelompok ekstrem kiri, jika tidak oleh kelompok komunis sejati di situ, dalam perkembangan situasi seperti sekarang ini, hanya tinggal menunggu waktu saja, yang akan memojokkan negara-negara non-komunis di Asia Tenggara?”
Dalam sebuah diskusi mengenai Indonesia dalam sebuah konperensi sejarah di Annapolis pada 1995, Bundy juga menulis bahwa Ball pernah bertanya pada wakil Central Intelligence Agency (CIA) apakah CIA dapat menggunakan sumberdayanya untuk menghentikan dan membalikkan arah perkembangan di Indonesia ini
Pada penguhujung dokumen tersebut, atas pengakuannya sendiri, CIA menyebutkan tidak mempunyai aset-aset alias sumberdaya di Indonesia untuk melakukan “kudeta” secanggih itu untuk menurunkan Sukarno atau menghancurkan PKI. (buz)
Ikuti terus perkembangan berita terbaru lainnya melalui kanal YouTube tvOneNews: