- tvOnenews - Alboin Hironimus
Soal Rempang Eco City, Ombudsman Tegaskan Pemerintah Harus Prioritaskan Kepentingan Masyarakat Dibanding Percepatan Pembangunan
Jakarta, tvonenews.com - Ombudsman RI menyoroti soal konflik kerusuhan yang terjadi antara aparat kepolisian dengan masyarakat di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau.
Dalam hal ini, Ombudsman menegaskan bahwa Pemerintah harus memprioritaskan kepentingan masyarakat dibandingkan percepatan pembangunan.
Hal tersebut disampaikan oleh Anggota Ombudsman RI, Johanes Widijantoro pada Senin (18/9/2023) di Kantor Perwakilan Ombudsman RI Provinsi Sulawesi Utara.
"Proyek Strategis Nasional perlu memperhatikan mekanisme dan tahapan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2021 tentang Pengadaan Tanah Bagi Kepentingan Umum. Untuk itu Ombudsman akan melakukan proses pemeriksaan apakah pembangunan Rempang Eco City sudah dilakukan sesuai dengan tahapan pada aturan tersebut atau tidak,” kata Johanes.
Johanes menjelaskan, terdapat 16 kampung tua yang tersebar di Pulau Rempang, yakni Tanjung Kertang, Rempang Cate, Tebing Tinggi, Blongkeng, Monggak, Pasir Panjang, Pantai Melayu, Tanjung Kelingking, Sembulang, Dapur Enam, Tanjung Banun, Sungai Raya, Sijantung, Air Lingka, Kampung Baru dan Tanjung Pengapit.
"Ada dugaan jika sosialisasi yang dilakukan tidak tepat sasaran sehingga berdasarkan temuan Ombudsman, warga Pulau Rempang minim yang mendaftar untuk relokasi," tuturnya.
Menurut Johanes, rencana relokasi warga Pulau Rempang tidak sesuai ketentuan dan juga tidak memiliki kekuatan hukum.
Hal ini apabila benar bahwa belum dikeluarkannya sertifikat Hak Pengelolaan Lahan (HPL) oleh Kementerian ATR/BPN kepada Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam (BP Batam).
“Penerbitan HPL harus sesuai dengan mekanisme yang berlaku, salah satunya adalah tidak adanya penguasaan dan bangunan di atas lahan yang dimohonkan (clear and clean). Sepanjang belum didapatkannya sertifikat HPL atas Pulau Rempang maka relokasi warga menjadi tidak memiliki kekuatan hukum,” ucap Johanes.
Johanes dengan tegas menentang segala bentuk represifitas yang dilakukan aparat kepolisian dalam melakukan pengamanan di Pulau Rempang.
"Turunnya ribuan aparat disertai penggunaan gas air mata dalam merespons penolakan masyarakat justru akan menambah konflik menjadi semakin besar," kata dia.
"Masyarakat di Pulau Rempang sangat terdampak dengan konflik yang terjadi akibat upaya relokasi masyarakat karena merasa terintimidasi. Ketakutan untuk melakukan pekerjaan sebagai nelayan maupun anak-anak yang takut bersekolah karena adanya aparat di perkampungan mereka," tambahnya.
Johanes mengatakan, pihaknya juga akan mendalami penguasaan fisik bidang tanah masyarakat yang sudah puluhan tahun berada di Pulau Rempang, apakah ada unsur kelalaian negara yang tidak memberikan akses kepada masyarakat untuk mendapatkan hak milik di tanah yang sudah turun temurun ditempati.
Selanjutnya, Ombudsman akan meminta klarifikasi kepada BP Batam, Pemerintah Kota Batam, Kementerian Investasi/BKPM, Tim Percepatan Pengembangan Pulau Rempang serta pihak terkait lainnya.
Kemudian, akan diterbitkan Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP) berupa Tindakan Korektif untuk dilaksanakan pihak Terlapor.
Seperti diketahui, permasalahan kasus Pulau Rempang yang akan dijadikan kawasan Rempang Eco City yang terdapat pada Keputusan Menteri Investasi/ Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 174 Tahun 2023 Tentang Tim Percepatan Pengembangan Investasi Ramah Lingkungan (Green Investment) di Kawasan Pulau Rempang, Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau.
Hal ini mengakibatkan penduduk asli Pulau Rempang akan direlokasi ke Pulau Galang.(rpi/chm)