- Abdul Gani Siregar-tvOne
Anies Baswedan Percaya Putusan MK soal Batas Usia Cawapres: Mereka Hakim-hakim Kompeten
Jakarta, tvOnenews.com - Bakal calon presiden (bacapres) Koalisi Perubahan Anies Baswedan mengatakan bahwa dirinya mempercayakan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait keputusan batas usia calon wakil presiden (cawapres).
Menurut dia, keputusan MK bukanlah dilandasi oleh opini pribadi, namun ada banyak hal yang dipertimbangkan.
“Kita percayakan kepada MK. Ini bukan opini ya. Kita percayakan pada MK. Mereka adalah hakim-hakim yang kompeten,” jelas dia saat ditemui di Cilandak, Jakarta Selatan, Senin (25/9/2023).
Eks Gubernur DKI Jakarta ini menegaskan bahwa keputusan terkait batas usia cawapres akan sudah sesuai dengan konstitusi yang ada.
“Mereka pasti bisa mengambil keputusan paling tepat. Ini sesuai spirit konstitusi kita karena fungsi MK adalah memastikan setia UU yang ada segaris dengan konstitusi,” tandasnya.
Pernyataan Anies ini merupakan lanjutan dari Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud Md.
Anies Baswedan percaya putusan MK soal batas usia cawapres. Dok: Abdul Gani Siregar-tvOne
Sebelumnya, Mahfud mengatakan pihaknya menyerahkan polemik terkait batas usia calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) kepada hakim Mahkamah Konstitusi (MK).
Mahfud mengatakan hal itu guna menanggapi uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) khususnya mengenai batas usia capres dan cawapres.
"Belum ada putusan. Secara normatif kami serahkan kepada hakim MK dan kami tidak boleh mengintervensi hakim. Biar saja mereka bekerja melakukan penggalian konstitusi terkait batas usia capres-cawapres," kata Mahfud dalam keterangan yang diterima di Kabupaten Jember, Jawa Timur pada Senin (25/9/2023).
Usai bersilaturahmi di Pondok Pesantren Al Falah, Kecamatan Silo, Kabupaten Jember pada Minggu malam (24/9/2023), Mahfud mengatakan MK adalah sebuah lembaga yang hanya bisa membatalkan aturan kalau salah dan tidak boleh punya wewenang untuk membuat atau mengubah aturan.
"Itu standar ilmiahnya (MK) sejak tahun 1920, ketika MK pertama kali berdiri di dunia, yakni di Austria tepatnya. Yang diputus oleh MK itu bukan aturan yang tidak disenangi orang, tetapi yang melanggar konstitusi," jelasnya.
Apabila sebuah aturan tidak melanggar konstitusi, lanjut Mahfud, maka MK tidak boleh membatalkan atau mengubah aturan tersebut karena lembaga yang berwenang untuk mengubah aturan adalah legislatif atau Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
"Kalau menyangkut open legal policy, politik hukum yang sifatnya terbuka, maka MK boleh tidak menerima. Tidak menerima dengan menolak itu sangat berbeda. Kalau menolak artinya permohonan ditolak. Sedangkan, tidak menerima berarti dikembalikan untuk proses di lembaga lain atau proses baru," jelasnya. (agr/nsi)
Dapatkan berita menarik lainnya dari tvOnenews.com di Google News.