- polri.go.id
MK akan Gelar Sidang Putusan Lima Perkara Terkait Cipta Kerja
Jakarta, tvOnenews.com - Mahkamah Konstitusi (MK) akan menggelar sidang pengucapan putusan pengujian lima perkara pengujian formil Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang terhadap UUD 1945 pada Senin (2/10/2023).
Sebanyak lima perkara tersebut terdiri dari 40,41,46,50,54/PUU-XXI/2023 yang diajukan berbagai aliansi serikat atau federasi pekerja.
Dalam sidang ketiga dari perkara nomor 41/PUU-XXI/2023 dan 46/PUU-XXI/2023 yang digelar pada Rabu (21/6/2023), Ketua MK Anwar Usman menyampaikan penundaan agenda persidangan.
Hal ini karena baik DPR maupun presiden belum siap memberikan keterangan atas permintaan pemohon yang menyatakan UU Cipta Kerja cacat hukum dan bertentangan dengan UUD 1945.
Sedangkan, untuk perkara 40/PUU-XXI/2023 dan 50/PUU-XXI/2023, Rapat Permusyawaratan Hakim tanggal 6 Juni 2023 telah memutuskan untuk memisah pemeriksaan pengujian formil dan materiil dalam kedua perkara tersebut serta menunda pemeriksaan pengujian materiil.
MK akan gelar sidang putusan lima perkara terkait cipta kerja. Dok: tvOne
Pada Kamis (6/7/2023) lalu, Asep N. Mulyana selaku Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia menjelaskan mengenai pembentukan UU Cipta Kerja telah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Serangkaian agenda telah dilakukan, yakni pembentukan panitia antarkementerian untuk menetapkan Perppu menjadi undang-undang; pada 5 Januari 2023 dilakukan penyampaian RUU penetapan Perppu hasil harmonisasi; 9 Januari 2023 dilakukan penunjukan wakil pemerintah dalam pembahasan RUU penetapan Perppu di DPR dan penyampaian RUU Perppu pada DPR.
Hingga akhirnya pada 27 Maret 2023 dilakukan persetujuan DPR atas penetapan Perppu serta pada 31 Maret 2023 dilakukan pengesahan oleh presiden dan pengundangan oleh Menteri Sekretaris Negara menjadi undang-undang.
Kemudian menurut Ahli Hukum Tata Negara dari Universitas Gadjah Mada Zainal Arifin Mochtar, UU Cipta Kerja tidak memenuhi hal unsur mendesak dan darurat, maka UU tersebut merupakan produk hukum yang melanggar.
Sementara itu, Bivitri Susanti selaku Dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera menyebutkan fenomena autocratic legalism terjadi pada proses pengesahan UU Cipta Kerja yang diujikan pada perkara ini.
Keduanya menjadi ahli pemohon perkara nomor 40/PUU-XXI/2023 pada Rabu (26/7/2023) lalu.
Aan Eko Widiarto, Ahli Hukum Tata Negara dan Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya sebagai ahli pemohon perkara nomor 46/PUU-XXI/2023 menyebutkan salah satu kesalahan UU 11/2020 adalah bertentangan dengan asas keterbukaan sehingga pembentukannya harus melibatkan partisipasi masyarakat yang lebih bermakna.
Dalam hal pembentukan UU, alih-alih membentuk UU untuk memperbaiki UU 11/2020, presiden justru membentuk Perppu 2/2022 tentang Cipta Kerja kemudian DPR menyetujuinya dan menetapkannya sebagai UU.
Sementara itu, Sri Palupi selaku saksi pemohon mengatakan telah membaca putusan MK dimana MK menyatakan UU Cipta Kerja itu sudah dinyatakan inkonstitusional bersyarat.
Pada Senin (7/8/2023) lalu, Jamaludin Ghafur sebagai ahli yang dihadirkan Partai Buruh menyatakan bahwa penerapan metode omnibus pada UU Cipta Kerja tak penuhi syarat.
Salah satunya kecacatan hukum formil dalam tahap persetujuan UU Cipta Kerja di DPR.
Terakhir, keterangan Aidul Fitriciada Azhari pada Senin (14/8/2023) dalam kapasitasnya sebagai ahli yang dihadirkan oleh presiden/pemerintah menyatakan Perppu Cipta Kerja ditetapkan untuk menindaklanjuti putusan MK nomor 91/PUU-XVIII/2020. (agr/nsi)
Dapatkan berita menarik lainnya dari tvOnenews.com di Google News.