- Istimewa
Akhir Hidup Kapten Westerling Usai Membantai di Sulawesi Selatan, Tersisih dan Dianggap Aib di Negerinya
tvOnenews.com - Kapten Raymond Pierre Paul Westerling, atau Kapten Westerling, sosok ini melekat dalam ingatan kelam masyarakat di Sulawesi Selatan. Setiap tahun di tanggal 11 Desember selalu diperingati warga Sulawesi Selatan sebagai Hari Tragedi Pembantaian 40 Ribu Jiwa.
Westerling dalam catatan sejarah, memimpin pasukan khusus Belanda Depot Speciale Troepen atau DST melakukan serangkaian pembantaian warga di Sulawesi Selatan, pada kurun waktu 11 Desember 1946 hingga 3 Maret 1947.
Westerling dan pasukannya tiba di Makassar, Sulawesi Selatan pada Kamis 5 Desember 1946. Pasukan dengan kekuatan 123 personel itu datang dengan membawa misi khusus untuk melakukan "penertiban keamanan".
Maarten Hidskes dalam bukunya "Di Belanda, Tak Seorangpun Mempercayai Saya" Korban Metode Westerling 1946-1947, diterjemahkan oleh Susi Moeiman, Maya Sutedja-Liem, Nurhayu Santoso, dan diterbitkan oleh Yayasan Obor 2018 menceritakan,
Kapten Westerling saat perpisahan di Mattoangin, 3 Maret 1947 (Dok. Maarten Hidskes)
Dalam kenangan Opsir Penghubung Hay, salah satu mantan anggota DST, sebelum pasukan mereka diberangkatkan ke Sulawesi Selatan, Westerling berpidato dihadapan anak buahnya. Dengan lantang ia berkata:
"Siapa yang tidak sanggup berdiri dengan kedua kaki berada dalam genangan darah setinggi pergelangan kaki, silahkan pergi sekarang!" kata Westerling.
Menurut Herman dan Wim, dua anggota pasukan khusus lainnya, saat itu, beberapa pemuda dalam barisan pasukan Westerling benar-benar memutuskan untuk mengundurkan diri.
"Pinky, tiba-tiba dia kabur, terlalu berat baginya. Dia kembali ke bagian ketentaraan yang sebelumnya. Kapten tidak memandang rendah siapapun" kata Wim dan Herman sambil menunjukkan sosok seorang pemuda kurus di sebuah foto.
Pasukan khusus Belanda atau Depot Speciale Troepen (DST) pimpinan Westerling pada 1946. (Dok. Maarten Hidskes)
Abdul Karim Amrullah (80) salah seorang warga Kampung Kalukuang, Makassar, Sulawesi Selatan, masih mengenang bagaimana peristiwa kelam pembantaian Westerling dan pasukannya terjadi di Kampungnya.
"Kami disuruh turun semua warga Kalukuang, termasuk saya dan ibu. Waktu itu ayah saya, H. Munawar Mardan sedang tidak ada di rumah." kisah Abdul Karim kepada tim tvOnenew.com Syamsul Maarif dan Idul Abdullah.
Dalam ingatan Abdul Karim, orang-orang di Kalukuang adalah para pejuang kemerdekaan. Salah satu pemimpinnya adalah Dg Talli. Para pejuang dari Kalukuang ini dicari oleh Westerling yang menyebut mereka sebagai kelompok ekstrimis.
"Mereka dibantai oleh KNIL. Mereka ditembaki hingga menjelang jam 12 siang. Westerling menggunakan mobil Jeep Willys yang tidak tertutup itu. Kami sudah kelaparan dan kehausan, anak-anak menangis dan berteriak" ujar Karim.
Pelarian Westerling
Usai tragedi di Sulawesi Selatan itu, pada 16 November 1948, Westerling diberhentikan dari jabatannya dan juga dari dinas kemiliteran.
Namun petualangan sang Kapten belum berakhir, ia sempat terlibat dalam tragedi pemberontakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA). Lalu kemudian menjadi buronan paling dicari oleh Pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS).
Namun dengan bantuan militer Belanda, Westerling berhasil kabur meninggalkan Indonesia, diterbangkan menuju Singapura menggunakan pesawat Catalina.
Pada 26 Februari 1950, Westerling ditangkap oleh polisi Inggris di Chia Piet Kay, kemudian dijebloskan ke penjara Changi Singapura.
Pemerintah RIS mengajukan permintaan kepada otoritas di Singapura agar Westerling diekstradisi ke Indonesia.
Namun dalam sidang Pengadilan Tinggi di Singapura Pada 15 Agustus 1950, memutuskan, bahwa Westerling sebagai warga negara Belanda tidak dapat diekstradisi ke Indonesia.
Westerling memimpin parade pada perayaan ulang tahun Ratu Juliana di Batavia. (Dok.Wikipedia)
Pada 21 Agustus, Westerling meninggalkan Singapura sebagai orang bebas dengan menumpang pesawat Australia Quantas dan ditemani oleh Konsul Jenderal Belanda untuk Singapura, Mr. R. van der Gaag, seorang pendukung Westerling.
Akhir Hidup Kapten Westerling
Awal musim panas pada Juni 1970 mulai menghangati kota Amsterdam Belanda, pria tua itu tetap melanjutkan kehidupannya seperti biasa. Tubuhnya masih kekar dan berotot, diusianya yang ke 51 tahun.
Pria itu adalah Kapten Raymond Pierre Paul Westerling, atau Kapten Westerling, sosok yang "melegenda" sebagai pembunuh 40 ribu jiwa di Sulawesi Selatan, ia menghabiskan sisa hidupnya di kota Amsterdam.
“Di sini saya tersisih dan dianggap aib yang memalukan orang Belanda.” kata Westerling dengan nada sedih kepada Salim Said, jurnalis senior yang juga sejarawan sekaligus saksi sejarah pembantaian Westerling di Sulawesi Selatan.
Salim Said menuturkan, tidak terlalu mudah bisa menemukan kontak Westerling. Pada umumnya orang Belanda yang mungkin mengetahui alamatnya menghindar untuk berbagi dengan berbagai macam alasan.
"Buat apa jumpa pembunuh itu,” kata seseorang.
“Westerling mestinya sudah lama mati, agar kami tidak terus diingatkan oleh tindakannya yang memalukan di Indonesia dulu,” kata yang lainnya.
Dari berbagai orang itu Salim juga mendapat sejumlah cerita yang tidak menggembirakan tentang kehidupan Westerling selepas petualangannya di Indonesia.
"Dia pernah mencoba menjadi penyanyi opera, tapi tidak berhasil. Pernah mencoba menjadi penulis, juga tidak berhasil. Hidup perkawinannya juga gagal. Dia hidup dalam lingkungan para bekas tentara Belanda yang pernah bersama dirinya di Indonesia dulu." ungkap Salim Said.
Pemakaman Kapten Westerling pada 1987 (Dok.Wikipedia)
Raymond Pierre Paul Westerling, atau Kapten Westerling, lahir di Istanbul, Turki, pada 31 Agustus 1919, merupakan anak kedua dari Paul Westerling asal Belanda dan Sophia Moutzou warga negara Turki yang berasal dari Yunani. Karena itu pula ia dijuluki "si Turki".
“Ibu saya warga negara Turki berdarah Yunani. Ayah saya orang Belanda,” kata Westerling pada Salim Said.
Westerling diketahui meninggal dunia pada 26 November 1987 di Amsterdam Belanda. (Buz)