- tim tvonenews
Ikatan Dosen Muda Perguruan Tinggi Muhammadiyah: Hentikan Narasi Darurat Pahlawan Melawan Begundal
Jakarta, tvonenews.com - Ikatan Dosen Muda Perguruan Tinggi Muhammadiyah (IDM PTM) prihatin dengan perkembangan kondisi bangsa dan negara menjelang hajatan demokrasi Pemilu 2024. Mereka meminta agar para akademisi terutama dari perguruan tinggi tidak ikut menebarkan narasi ketakutan, kecurangan pemilu, dan tuduhan serampangan netralitas penyelenggara yang bisa mendelegitimasi pemilu.
Ikatan Dosen Muda Perguruan Tinggi Muhammadiyah menilai narasi yang belakangan ramai bisa berakibat pada memanasnya suhu politik menjelang pesta demokrasi.
"Sebaiknya kita menahan diri untuk tidak menebarkan narasi-narasi ketakutan, kecurangan pemilu, dan tuduhan serampangan netralitas penyelenggara yang bisa mendelegitimasi pemilu, dan berakibat pada memanasnya suhu politik menjelang pesta demokrasi," kata Ketua IDM-PTM, Isnan Hari Mardika, melalui keterangan tertulis di Jakarta, Senin (5/2/2024).
Isnan menambahkan agar segera, "menghentikan segala laku culas untuk menggiring seolah-olah negara dalam kondisi darurat dan harus diselamatkan. Hentikan antagonisme politik dan demonisasi yang menggiring kontestasi politik menjadi perang bubat antara "kubu kebaikan" dan "kubu kemungkaran", antara "pahlawan" melawan "begundal"," tegasnya.
Ikatan Dosen Muda Perguruan Tinggi Muhammadiyah menegaskan pemilu adalah ajang kontestasi putra-putri terbaik bangsa untuk melanjutkan estafet kepemimpinan.
"Diantara jutaan anggota timses di masing-masing kubu, adanya oknum nakal adalah niscaya. Kawal dan awasi prosesnya, laporkan kecurangannya, sanksi oknumnya, tindak secara proporsional sesuai ketentuan yang berlaku. Tak perlu secara berlebihan melabeli kubu tertentu curang," kata dia.
Perguruan tinggi dan kaum cendekia, kata dia, hendaknya turut mendorong agar pesta demokrasi yang sudah kali ke-6 sejak tonggak reformasi ini, beranjak dari modus-modus politik rendahan dan primitif yang mengeksploitasi sentimen dan menebar narasi ketakutan yang meminggirkan rasionalitas politik menuju politik yang berkemajuan dengan politik gagasan yang mengedepankan nalar dan akal budi, dalam bingkai fastabiqul khairat menuju visi Indonesia Emas untuk mengangkat derajat Indonesia menjadi negara maju.
"Harusnya, PT dan cendekia saat ini fokus menyemarakkan edukasi publik untuk dapat memilih secara demokratis, berintegritas, dan penuh kesadaran. Cendekia hendaknya percaya bahwa rakyat adalah subyek politik yang merdeka dan cukup cerdas untuk menentukan pilihannya, karena itu PT cukup memposisikan diri sebagai mercusuar yang memberikan panduan moralitas dan akhlak politik sebagai pegangan publik untuk memilih, bukan mengarah-arahkan dukungan," kata dia.
Perguruan Tinggi dan kaum cendekia, lanjut Isnan, hendaknya mampu menjaga diri dan menahan hasrat untuk tidak gampangan, asal tampil dan akrobatik pada panggung-pamggung politik rendahan yang berorientasi untuk mengais remah-remah elektoral untuk kepentingan kelompok politik tertentu.
"Perguruan Tinggi dan kaum cendekia hendaknya lebih cermat, melaraskan suara mereka pada denyut dan detak jantung aspirasi publik, serta memposisikan pemihakan pada kehendak arus besar masyarakat, bukan sebaliknya," kata Isnan.
Mobilisasi Akademisi
Melalui keterangan tertulis itu, Isnan juga menggarisbawahi adanya upaya untuk memobilisasi kaum cendikia yang justru bisa berbahaya dan rentan disalahtafsirkan.
"Mobilisasi kaum cendekia yang mengatasnamakan guru besar, forum akademisi, atau perguruan tinggi tertentu, yang belakangan marak, berjilid-jilid, dan sahut-menyahut, rentan disalah tafsir sebagai pemihakan terhadap calon tertentu di satu sisi dan bentuk delegitimasi terhadap calon yg lain di sisi sebaliknya," kata Isnan.
Isnan menemukan bahwa mulai ada suara yang mengindikasikan gerakan tersebut sebagai manuver para akademisi tertentu untuk orkestrasi politik elektoral.
"Apalagi, bila sebagian akademisi tersebut mempunyai afiliasi atau kedekatan dengan kubu politik tertentu, sebaiknya menahan diri untuk tidak menarik-narik nama PT ke panggung politik elektoral." lanjutnya.
Isnan menegaskan bahwa IDM PTM tak sedang mengatakan bahwa kaum cendekia harus berjarak, netral, dan bebas nilai.
"Pemihakan sekalipun bukanlah sesuatu yang tabu. Namun demikian, pemihakan intelektual adalah terhadap nilai dan prinsip, bukan kelompok atau calon tertentu. Preferensi dan afiliasi pribadi terhadap partai atau calon tertentu tentu sah adanya, namun bila memang demikian hendaknya disampaikan secara terbuka, bukan membingkai manuver politik sebagai gerakan moral intelektual," paparnya.
Isnan berpendapat bahwa Universitas adalah rumah bagi intelektualitas, intelegensia dan kecendekiaan. Di dalamnya tumbuh pusparagam pikiran yang plural, majemuk dan tak pernah tunggal serta mustahil diseragamkan. Perbedaan pikiran, gagasan, sikap, termasuk kecenderungan preferensi politik adalah niscaya.
"Dengan demikian, nisbah gagasan atau sikap tertentu pada nama perguruan tinggi tertentu yang seolah sebagai sikap tunggal universitas tersebut adalah bertentangan dengan prinsip dasar universitas itu sendiri," lanjutnya.
Peran publik kaum cendekia dalam merespon isu tertentu yang berkembang di masyarakat, kata Isnan, merupakan bagian integral dari tri dharma perguruan tinggi yang menjadi kewajiban kaum cendekia untuk memajukan kehidupan berbangsa dan meninggikan kualitas peradaban publik.
"Namun demikian, dalam momentum pemilu seperti sekarang, hendaknya kaum cendekia mengedepankan sikap kehati-hatian karena rentan diperalat atau disalahgunagan sebagai alat legitimasi atau delegitimasi politik sebagai instrumen mobilisasi yang mengerdilkan peran intelektual hanya sebatas instrumen politis," pungkasnya. (ito)