Sidang DKPP.
Sumber :
  • Tim tvOne/Muhammad Bagas

Pakar Hukum: Keputusan DKPP Tak Bisa Jadi Dasar Penjatuhan Sanksi

Selasa, 6 Februari 2024 - 10:52 WIB

Jakarta, tvOnenews.com - Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) telah menjatuhkan putusan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU). Terhadap Ketua, dijatuhkan Sanksi Peringatan Keras Terakhir dan masing-masing Anggota dijatuhkan Sanksi Peringatan Keras. Putusan DKPP yang berjumlah tidak lebih dari seratus sembilan puluh lima halaman mengandung rekayasa dan kesesatan terselubung. Hal ini dapat dilihat dalam pertimbangan putusan (ratio decidendi) putusan DKPP.

DKPP dalam ratio decidendi menyatakan bahwa, “tindakan Para Teradu menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 dalam pencalonan peserta pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2024 adalah tindakan yang sudah sesuai dengan Konstitusi” (halaman 188). 

"Frasa “tindakan yang sudah sesuai dengan Konstitusi”, sepertinya tepat, namun kalimat tersebut tidak konsisten dan tidak tepat. Seharusnya, berbunyi “tindakan yang sudah sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023”," jelas Ketua Umum Persatuan Doktor Pascasarjana Hukum Indonesia (PEDPHI), Abdul Chair Ramadhan, Selasa (6/2/2024).

Menurut Abdul perihal kata “sesuai” tentu dalam operasionalnya bermakna “menjalankan”. Sesuai dan/atau menjalankan putusan Mahkamah Konstitusi sudah pasti sesuai dan/atau menjalankan Konstitusi. 

Jadi, kalimat sesuai dan/atau menjalankan Konstitusi masih bersifat umum, membutuhkan objek apa yang menjadi adresatnya.

Katanya konstitusi jelas membutuhkan Undang-Undang sebagai landasan operasional. Tanpa ada landasan operasional tidak mungkin norma dasar itu dapat diberlakukan secara sosiologis. Kemudian norma dalam Undang-Undang juga membutuhkan aturan aplikatif-implementatif dalam peraturan perundang-undangan di bawahnya. Oleh karena itu, tidak logis DKPP menggunakan penyebutan “Konstitusi”.

Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat umum (erga omnes) yang langsung dilaksanakan (selfexecuting), dan oleh karenanya tidak memerlukan atau menunggu revisi terhadap Undang-Undang. Secara mutatis mutandis berlaku bagi regulasi di bawah Undang-Undang (in casu Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum).

Lebih lanjut, dalil DKPP yang menyatakan bahwa tindakan KPU tidak sesuai dengan tata kelola administrasi tahapan Pemilu. Disebutkan juga, KPU seharusnya segera menyusun rancangan perubahan PKPU Nomor 19 Tahun 2023 tentang Pencalonan Peserta Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden sebagai tindak lanjut putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 (halaman 188). 

"Demikian itu tidak relevan dan oleh karenanya tidak menjadi dasar penjatuhan sanksi," katanya.

Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 1 Tahun 2022 tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan dan Keputusan Di Lingkungan Komisi Pemilihan yang menjadi rujukan ternyata telah salah dipahami oleh DKPP. Pasal 10 ayat (1) menyebutkan bahwa dalam keadaan tertentu, Pemrakarsa dapat mengajukan Rancangan Peraturan KPU di luar Program Penyusunan Rancangan Peraturan KPU.  Kemudian, pada ayat (2) disebutkan keadaan tertentu yang menjadi dasar dapatnya diajukan Rancangan Peraturan KPU tersebut, salah satunya pelaksanaan putusan Mahkamah Konstitusi.

Terang benderang terbaca bahw ketentuan Pasal 10 ayat (1) menyebutkan kata “dapat”, dan demikian itu bersifat fakultatif, bukan imperatif. Disisi lain tidak mungkin KPU mampu melakukan penyusunan rancangan perubahan atas PKPU Nomor 19 Tahun 2023 sebagaimana didalilkan oleh DKPP. Demikian singkat waktu yang tersedia. Sementara penyusunan rancangan perubahan PKPU mencakup tahapan perencanaan, penyusunan, penetapan, dan pengundangan. Kesemuanya itu membutuhkan waktu yang demikian lama. Menjadi lain halnya jika waktu yang tersedia relatif panjang.

Menurutnya DKPP juga tidak cermat membaca ketentuan Pasal 10 ayat (2). Keadaan tertentu sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) adalah berifat alternatif dan kumulatif.  Selengkapnya ayat (2) menyatakan:

Keadaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup:
a. perubahan Undang-Undang yang mengatur mengenai Pemilu dan/atau Pemilihan;
b. perubahan atau pencabutan peraturan perundang-undangan;
c. pelaksanaan putusan Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung;
d. hasil pemantauan dan evaluasi pelaksanaan Peraturan KPU; dan
e. kebutuhan pelaksanaan tugas, fungsi, dan kewenangan KPU.

Sistematika ayat (2) menunjukkan bahwa “huruf a” sampai dengan “huruf d” bersifat alternatif tergantung yang menjadi sebabnya. Namun juga harus dikumulasikan dengan “huruf e.”  Terbaca dengan jelas pada “huruf d” terdapat kata penghubung “dan” yang menunjuk pada “huruf e”, yakni “kebutuhan pelaksanaan tugas, fungsi, dan kewenangan KPU”. Sepanjang KPU menganggap tidak ada relevansinya dengan pelaksanaan tugas, fungsi, dan kewenangan KPU, maka sesuai dengan penilaian KPU sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) menjadikan Rancangan Peraturan KPU tidak bersifat fakultatif.

Selain itu, rumusan Pasal 10 apabila dikaitkan dengan menjalankan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 tidak tepat. Selain DPR, maka KPU juga tidak ada kewajiban melakukan revisi sebagaimana dimaksudkan. Lebih dari itu, rumusan Pasal 10 tidak secara langsung mengenai rumusan Peraturan KPU. Hal-hal yang terjadi dalam keadaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menunjuk adanya persintuhan dan dampak terhadap Peraturan KPU, sehingga ketentuan “huruf e” yakni “kebutuhan pelaksanaan tugas, fungsi, dan kewenangan KPU” menjadi kunci untuk dapat atau tidaknya dilakukan Rancangan Peraturan KPU. Lebih-lebih lagi nomenklatur yang digunakan adalah “Rancangan”, bukan “Perubahan”.

"Dalil DKPP sebagaimana diutarakan di atas merupakan penyelundupan hukum. Penyelundupan itu terurai dalam tahap konstatir, kualifisir dan konstituir putusan. Meminjam istilah pidana, sepertinya hal tersebut dilakukan “dengan maksud”, “diketahui” dan “dikehendaki”. Disinilah letak rekayasa dan kesesatan terselubung dalam putusan DKPP. Hal ini menjadi cacatan serius, ada apa gerangan dengan DKPP?" katanya

Lalu perlu dipahami menyangkut asas notoire feiten notorious.  Asas ini mengatakan bahwa “setiap hal yang sudah menjadi pengetahuan umum” atau “sudah umum diketahui”, maka menurut hukum tidak perlu lagi dibuktikan dalam sidang pengadilan. Postulat demikian telah menjadi kelaziman dalam praktek persidangan, dan disebutkan juga dalam Pasal 184 ayat (2) KUHAP.

Dalam kaitannya dengan perkara a quo, putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang pada intinya membatalkan persyaratan batas usia minimal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum telah menjadi “pengetahuan umum”. Oleh karena itu, tidak ada kewajiban bagi KPU untuk “mendeclare” dengan melakukan perubahan terhadap pasal a quo. Terlebih lagi, kedudukan putusan Mahkamah Konstitusi adalah sama dan sederajat dengan Undang-Undang (in casu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum).

Menjadi aneh disebutkan bahwa KPU harus melakukan revisi terhadap pasal a quo sebagai tindak lanjut putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023. Sementara Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum tidak dilakukan perubahan. Bagaimana penjelasan logisnya, terhadap PKPU direvisi guna menyesuaikan dengan putusan Mahkamah Konstitusi, akan tetapi Undang-Undang a quo tetap alias tidak mengalami perubahan. Apakah dapat dikatakan, KPU yang tidak melakukan revisi, maka demikian itu tidak sesuai dengan Konstitusi atau dengan kata lain tidak menjalankan Konsitusi? lalu bagaimana dengan DPR? Bukankah setiap putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan suatu norma dalam Undang-Undang tidak memerlukan perubahan terhadap norma yang diatur dalam Undang-Undang yang bersangkutan. Lalu dimana letak urgensi dan relevansi bahwa PKPU harus dirubah, padahal Undang-Undang saja tidak dirubah. Disini juga terlihat adanya rekayasa dan kesesatan terselubung dalam pertimbangan hukum putusan DKPP. Semuanya itu dimaksudkan agar terhubung dengan amar putusan yang menjatuhkan sanksi.

"Pada prinsipnya KPU wajib menerima pendaftaran pencalonan Paslon Prabowo-Gibran sebagai Capres dan Cawapres. Kewajiban tersebut melebihi kewajiban yang lainnya, semisal melakukan revisi terlebih dahulu terhadap Pasal 13 ayat (1) huruf q PKPU Nomor 19 Tahun 2023. KPU didalilkan melakukan pelanggaran, namun ternyata tidak ditemukan fakta adanya itikad tidak baik. Putusan DKPP menghindari pembuktian asas bonafides. DKPP melalui putusannya telah melakukan penyelundupan hukum dan rekayasa yang mengandung kesesatan terselubung. Dapat disimpulkan bahwa tindakan KPU telah didasarkan atas aturan dan prosedur (rules and procedures). Hal sebaliknya, putusan DKPP dipertanyakan apakah telah sejalan dengan aturan dan prosedur? Penulis tidak perlu lagi menjelaskan yang sudah jelas," ucapnya. (ebs) 

Berita Terkait :
Topik Terkait
Saksikan Juga
01:50
02:03
03:05
03:21
01:44
01:05
Viral