- twitter (X)
Sindir Mahfud MD Soal Dokumenter Dirty Vote, Fadli Zon: Kebetulan yang Presisi
Jakarta, tvonenews.com - Penayangan perdana Film dokumenter 'Dirty Vote' dirilis Minggu (11/2/2024) siang oleh rumah produksi WatchDoc dan disutradarai oleh Dandhy Dwi Laksono di platform YouTube.
Berkenaan dengan penayangan dokumenter Dirty Vote itu di masa tenang jelang pencoblosan Pemilu 2024, politikus Gerindra Fadli Zon menyentil Mahfud MD melalui cuitan di media sosial X (twitter).
"Aktor dalam film di masa tenang rupanya Timnya Pak @mohmahfudmd ? Sebuah kebetulan yg presisi," cuit Fadli Zon seraya menyematkan emoticon tersenyum, sebagaimana dipantau Senin (12/2/2024).
Fadli Zon mencuitkan hal itu pada Minggu (11/2/2024), seraya menyematkan pula link berita berjudul "Mahfud MD Bentuk Tim Percepatan Reformasi Hukum, Libatkan Bivitri Susanti, Feri Amsari dan Zainal Arifin Mochtar".
Dalam dokumenter Dirty Vote ada tiga pakar hukum tata negara yang menjadi aktor, yakni Bivitri Susanti, Feri Amsari dan Zainal Arifin Mochtar.
Diketahui, Tim Percepatan Reformasi itu dibentuk Mahfud MD saat masih menjabat sebagai Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam).
Pembentukan tim ini berlandaskan pada Surat Keputusan Menko Polhukam Nomor 63 Tahun 2023 tentang Tim Percepatan Reformasi Hukum yang ditandatangani Mahfud MD pada 23 Mei 2023.
Dalam salinan surat tersebut, Tim Percepatan Reformasi Hukum memiliki tugas untuk menetapkan strategi dan agenda prioritas, mengoordinasikan kementerian atau lembaga, serta mengevaluasi agenda prioritas.
Ada empat agenda prioritas yaitu, reformasi lembaga peradilan dan penegakan hukum, reformasi hukum sektor agraria dan sumber daya alam, pencegahan dan pemberantasan korupsi, serta reformasi sektor peraturan perundang-undangan.
Bivitri Susanti, Feri Amsari dan Zainal Arifin Mochtar dalam Tim Percepatan Reformasi tergabung sebagai anggota.
Melawan Sehormat-Hormatnya
Pada akun Instagram resminya, @zainalarifinmochtar, Zainal menyampaikan terima kasih kepada semua yang ikut melawan kecurangan.
"Teman-teman, terima kasih untuk bersama-sama melawan sehormat-hormatnya. Ini kami dedikasikan secara bersama. Bahkan tidak ada monetisasi dalam semua tampilan film ini di YouTube," kata Zainal.
"Kami sepakat, seperti bahasa yang disuarakan mas sutradara Dhandy Laksono bahwa 'ada saatnya kita semua menjadi pendukung capres/cawapres. Tapi hari ini, kami mengajak anda semua menontonnya sebagai WARGA NEGARA,'" tulisnya.
Zainal Arifin Mochtar mengakui menerima ribuan mention di Instagram setelah film ini diluncurkan hanya dalam waktu 9 jam.
"Saya mohon maaf, ada ratusan menuju ribuan mention di post Instagram yang saya terima, dan mulai mustahil untuk bisa merepost semuanya," ucapnya.
Sinopsis Dirty Vote
Masa kampanye pemilu 2024 baru saja usai. Menyongsong tiga hari lagi pemilihan pada 14 Februari, koalisi masyarakat sipil merilis film dokumenter tentang desain kecurangan pemilu.
Dokumenter berjudul “Dirty Vote” tayang mengambil momentum 11.II, yaitu tanggal 11 Februari bertepatan hari pertama masa tenang pemilu dan akan disiarkan pukul 11.00 WIB di kanal YouTube.
Dirty Vote persisnya dokumenter eksplanatori yang disampaikan oleh tiga ahli hukum tata negara yang membintangi film ini. Mereka adalah Zainal Arifin Mochtar, Bivitri Susanti, dan Feri Amsari.
Ketiganya menerangkan betapa berbagai instrumen kekuasaan telah digunakan untuk tujuan memenangkan pemilu sekalipun prosesnya menabrak hingga merusak tatanan demokrasi.
Penggunaan kekuasaan yang kuat dengan infrastruktur yang mumpuni, tanpa malu-malu dipertontonkan secara telanjang di hadapan rakyat demi mempertahankan status quo.
Tentu saja penjelasan ketiga ahli hukum ini berpijak atas sejumlah fakta dan data. Bentuk-bentuk kecurangannya diurai dengan analisa hukum tata negara.
Sederhananya menurut Bivitri Susanti, film ini sebuah rekaman sejarah tentang rusaknya demokrasi negara ini pada suatu saat, di mana kekuasaan disalahgunakan secara begitu terbuka oleh orang-orang yang dipilih melalui demokrasi itu sendiri.
“Bercerita tentang dua hal. Pertama, tentang demokrasi yang tak bisa dimaknai sebatas terlaksananya pemilu, tapi bagaimana pemilu berlangsung. Bukan hanya hasil penghitungan suara, tetapi apakah keseluruhan proses pemilu dilaksanakan dengan adil dan sesuai nilai-nilai konstitusi. Kedua, tentang kekuasaan yang disalahgunakan karena nepotisme yang haram hukumnya dalam negara hukum yang demokratis,” katanya.
Bivitri mengingatkan, sikap publik menjadi penting dalam sejarah ini. Apakah praktik lancung ini akan didiamkan sehingga demokrasi yang berorientasi kekuasaan belaka akan menjadi normal yang baru?
“Atau kita bersuara lantang dan bertindak agar republik yang kita cita-citakan terus hidup dan bertumbuh. Pilihan Anda menentukan,” katanya.
Pesan yang sama disampaikan oleh Feri Amsari. Menurutnya, esensi pemilu adalah rasa cinta tanah air. Menurutnya, membiarkan kecurangan merusak pemilu sama saja merusak bangsa ini.
“Dan rezim yang kami ulas dalam film ini lupa bahwa kekuasaan itu ada batasnya. Tidak pernah ada kekuasaan yang abadi. Sebaik-baiknya kekuasaan adalah, meski masa berkuasa pendek, tapi bekerja demi rakyat. Seburuk-buruknya kekuasaan adalah yang hanya memikirkan diri dan keluarganya dengan memperpanjang kuasanya,” jelas Feri.
Ketua Umum SIEJ sekaligus produser, Joni Aswira mengatakan, dokumenter ini sesungguhnya juga memfilmkan hasil riset kecurangan pemilu yang selama ini dikerjakan koalisi masyarakat sipil. Biaya produksinya dihimpun melalui crowd funding, sumbangan individu dan lembaga.
“Biayanya patungan. Selain itu Dirty Vote juga digarap dalam waktu yang pendek sekali sekitar dua minggu, mulai dari proses riset, produksi, penyuntingan, hingga rilis. Bahkan lebih singkat dari penggarapan End Game KPK (2021),” katanya.
20 lembaga lain yang terlibat kolaborasi dalam film ini ialah: Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Bangsa Mahardika, Ekspedisi Indonesia Baru, Ekuatorial, Fraksi Rakyat Indonesia, Greenpeace Indonesia, Indonesia Corruption Watch, Jatam, Jeda Untuk Iklim, KBR, LBH Pers, Lokataru, Perludem, Salam 4 Jari, Satya Bumi, Themis Indonesia, Walhi, Yayasan Dewi Keadilan, Yayasan Kurawal, dan YLBHI.(ito)