- Instagram @prabowo
Branding Gemoy Prabowo Disebut Mampu Gaet Anak Muda Jadi Kunci Kemenangan Prabowo-Gibran
Jadi bisa disimpulkan bahwa secara kreativitas dan brand, Prabowo dengan gaya nge-popnya memiliki kebaruan serta diferensiasi dibanding paslon lain. Inilah yang benar-benar diterima pasar pemilih yang pada Pilpres 2024 ini lebih dari setengahnya adalah pemilih muda.
Di sisi lain, gaya Prabowo-Gibran yang nge-pop ini banyak dikritisi kompetitornya yang menuding gaya kampanye ini tidak mencerdaskan masyarakat. Muncul kemudian dikotomi gaya kampanye nge-pop Prabowo-Gibran itu tak mendidik. Pandangan miring yang sejatinya mirip dengan perdebatan budaya rendah versus budaya tinggi. Kalangan elitis kerap menghina budaya pop sebagai budaya rendahan. Padahal budaya pop adalah refleksi dari masyarakat itu sendiri. Menyepelekan budaya pop berarti pula menyepelekan keinginan atau selera rakyat.
Seorang komlumnis perang, Victor Davis Hanson, pernah berujar bahwa pop culture adalah sebuah refleksi sederhana tentang apa yang masyarakat kebanyakan inginkan. Pop culture juga menjadi senjata yang begitu mematikan. Lihat saja bagaimana Korea mampu menaklukkan dunia dengan K-Popnya.
Jauh sebum K-Pop, Amerika mampu menghancurkan Soviet dengan bermodalkan tiga film, yakni Rambo, Knight Rider, dan The Simpsons. Tiga film atau serial yang selalu menempatkan Soviet sebagai sosok antagonis. Dengan propaganda itu, moral dan kepercayaan diri anak muda Soviet luntur hingga akhirnya negara adidaya itu luluh lantak oleh perpecahan internal. Tak heran jika kemudian National Geographic menempatkan Pop Culture sebagai senjata perang yang paling mematikan di dunia, melebihi bom atom sekalipun.
Jadi jangan pernah menyepelekan budaya populer. Terbukti kini suara kompetitor 02 kini luluh lantak. Mengutip apa yang dikatakan penulis kenamaan Neil Geimann, "Tidak relevan lagi budaya tinggi atau budaya rendah, yang penting adalah seni yang baik atau tidak."