Arsip Foto - Agresi Militer Belanda II 1948.
Sumber :
  • Wikimedia/Fotograaf Onbekend/DLC Auteursrechthebbende : Nationaal Archief Materiaa

Jual Emas 7 Ton dan Todongan Senjata di Brangkas BNI, Sekelumit Kisah Epik Margono Djojohadikoesoemo Kakek Prabowo Subianto

Rabu, 21 Februari 2024 - 01:05 WIB

Jakarta, tvonenews.com - Politikus sekaligus ekonom pejuang Margono Djojohadikoesoemo menorehkan kisah epik bagi perjuangan Indonesia

Margono Djojohadikoesoemo, kakek dari capres Prabowo Subianto, pada 1948 berhasil menyelundupkan emas seberat tujuh ton dan menjualnya ke Makau

Semua hasil penjualan emas yang merupakan aset Bank Negara Indonesia (BNI) itu kemudian digunakan sepenuh-penuhnya bagi perjuangan Indonesia.

Kala itu, di tahun 1948, Belanda melancarkan agresi militer II yang bertujuan untuk melanjutkan penjajahan di Indonesia meski proklamasi kemerdekaan telah digaungkan pada 17 Agustus 1945.

Saat itu, Margono Djojohadikoesoemo sedang mengemban amanah dari pemerintah untuk memimpin BNI. Bank Sentral Indonesia yang didirikan atas usaha bangsa sendiri.

Dikutip dari buku bertajuk "100 Tahun Margono Djojohadikoesoemo", keterlibatan Margono dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang paling epik adalah ketika Margono menyelamatkan aset BNI berupa emas seberat tujuh ton.

Saat itu Margono berhasil  menjual emas ke Macau dan hasil penjualan diperuntukkan bagi perjuangan Indonesia, yakni untuk penyediaan bahan pangan, biaya diplomasi, serta persediaan perang melawan Belanda. 

Todongan Senjata Belanda

Meski berhasil menyelamatkan aset BNI dan menjualnya untuk kepentingan perjuangan bangsa, dalam versi kisah lainnya, saat Agresi Militer Belanda II di 1948, Margono Djojohadikoesoemo mengisahkan kebrutalan tentara Belanda menjarah aset milik Indonesia.

Muasalnya adalah satu peristiwa yang terjadi pada 23 Desember 1948, saat itu Margono didatangi tentara belanda di gedung BNI yang kala itu berpusat di Yogyakarta. 

Belanda minta dibukakan lemari besi (brangkas) yang ada di gedung Bank Negara, ingin mengetahui berapa jumlah devisa Republik dan di mana disimpan.

"Dimana devisa luar negeri Republik?" kata opsir Belanda membentak dengan todongan pistol.

"Ik kan U niet alles vertellen. Het is het geheim van de smid (Saya tidak dapat menceritakan kepada Anda. Itu semua rahasia tukang besi)," kata Margono.

Margono pun diinterogasi selama berjam-jam sebelum akhirnya dimasukkan ke dalam sel Wirogunan. Margono-pun ditahan.

Singkat cerita Belanda akhirnya bisa mengetahui cara membuka brangkas Bank Negara tanpa bantuan Margono.

Dan pada suatu hari, Margono digiring ke luar sel dan dibawa ke Bank Negara. 

Di situ Margono melihat Belanda merampok habis berkarung-karung ORI alias Oeang Repoeblik Indonesia bernilai jutaan rupiah, berkodi-kodi batik, barang perak dari Pasar Gede, perhiasan, gelang emas, semuanya milik para nasabah bank, berbungkah-bungkah emas dari tambang emas Cilotok. 

Semua itu diangkut Belanda dengan sebuah truk, entah dibawa kemana.

Saking brutal aksi tersebut, Margono berkata: "en rampok partij in optima forma (pesta rampok yang terencana)."

Di Penghujung Desember 1948 Margono dibebaskan tapi dikenai tahanan kota. Baru pada pertengahan 1949 setelah Persetujuan Roem-Royen ditandatangani Margono bisa pindah ke Jakarta.

Maestro wartawan Indonesia Rosihan Anwar, di dalam bukunya Musim Berganti, Catatan Sejarah Indonesia 1925-1950, menulis, beberapa bulan kemudian Margono bergabung dengan delegasi Republik di Konferensi Meja Bundar di Den Haag. 

Ekonomi dan Koperasi

Kiprah Margono dalam mendirikan Bank Sentral pertama di NKRI, yakni Bank BNI berawal dari pengalamannya yang cukup panjang mengurus urusan kesejahteraan, ekonomi dan koperasi.

Pada 1937, saat usai bersekolah di Belanda, Ia menduduki jabatan pada bagian urusan kesejahteraan yang tugas khususnya adalah mempelajari berbagai laporan dari pemerintah Hindia Belanda. 

Setelah mengemban tugas di Belanda itu, kemudian Departemen Urusan Ekonomi Hindia Belanda memanggilnya pulang karena keterbatasan tenaga. Pekerjaan ini ia emban hingga Indonesia diduduki oleh Jepang pada tahun 1942.

Pemerintah Jepang kemudian mengganti dinas Volkscredietbank, tempat Margono bekerja, menjadi Shomin Ginko (Bank Rakyat).

Selama masa pendudukan Jepang, Margono tidak hanya mengurusi masalah perkreditan, akan tetapi juga mengurusi masalah pangan seperti penyimpanan bahan makanan atau mengurusi lumbung makanan dari petani. 

Tidak lama menjabat sebagai pegawai di Shomin Ginko, Margono diminta untuk membantu Mangkunegara VII untuk bekerja kepada Keraton Mangkunegaran guna membentuk Departemen Perekonomian. 

Tugas yang diemban ketika bekerja di Keraton Mangkunegaran adalah penyediaan bahan makanan, penyuluhan terhadap petani, mengurus jawatan peternakan, dan mengawasi rumah-rumah gadai. 

Bertugas mengawasi penyediaan bahan makanan masa Jepang adalah hal yang sangat berat karena banyak hasil pertanian rakyat yang harus diserahkan kepada Jepang. 

Atas dasar itu, Margono kemudian memanipulasi pasukan Jepang terkait hasil pertanian agar rakyat tetap aman persediaan bahan makanannya. 

Pada Juli 1945, atas usul Hatta, Margono kembali dipanggil ke Jakarta untuk bekerja pada kantor pusat pengawasan bahan makanan bersama dengan Mr. A.K. Pringgodigdo. 

Dalam buku "100 tahun Margono Djojphadikoesoemo", disebutkan bahwa Margono menjalani pekerjaan ini hingga Jepang menyerah dan Indonesia memproklamirkan kemerdekaan.

Tugas Khusus Era Kemerdekaan

Tidak lama setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, guna menyempurnakan struktur kenegaraan, beberapa lembaga dibentuk untuk membantu presiden dan wakil presiden di pemerintahan. 

Salah satu lembaga yang  dibentuk adalah Dewan Pertimbangan Agung (DPA) dimana Margono ditunjuk sebagai ketua. Margono selama menjabat sebagai ketua DPA bertugas memberikan nasihat kepada pemerintahan. 

Jabatan Ketua DPA yang diemban Margono tidak berjalan lama, kemudian posisinya ditukar menjadi anggota. Setelah itu kemudian pada tahun 1946, Margono diberi tugas membentuk Bank Negara Indonesia. 

Ketika pemerintah Indonesia hijrah ke Yogyakarta, Margono pun turut memindahkan BNI kesana. 

 

Saat itu BNI harus berhadapan dengan De Javasche Bank (DJB) yang dihidupkan oleh NICA/Belanda yang ditujukan untuk mengacaukan sistem ekonomi dalam negeri. 

Di masa-masa sulit, tak mudah bagi Margono Djojohadikoesoemo untuk memimpin bank baru karena harus memimpin pertempuran di sektor ekonomi melawan De Javasche Bank (DJB).

Saat itu, DJB semakin ekspansif ke seluruh negeri. Dia menyebarkan mata uang NICA ke pelosok Indonesia. Tak mau kalah, BNI juga mengeluarkan uang dengan nama Oeang Republik Indonesia (ORI). 

Alhasil, timbul peperangan mata uang atau currency war, sekaligus memunculkan dualisme bank sentral di Indonesia. 

Di lapangan, pertempuran melawan Belanda semakin panas. Banyak wilayah yang dijajah kembali Belanda. 

Akibatnya, tugas BNI sebagai bank sentral tidak optimal. BNI tidak mampu berbuat apa-apa karena operasionalnya mandek. Di daerah banyak cabang BNI yang tutup dan kekayaannya dirampas Belanda.

Kekuatan Belanda pada akhirnya sukses menekuk lutut BNI. Hingga akhirnya, pertempuran dua bank sentral ini benar-benar selesai pada 1949. 

BNI baru mulai aktif kembali pada 1953 namun tugas BNI sebagai bank sentral memudar usai pemerintah mengambil alih DJB dan mengubahnya menjadi Bank Indonesia (BI).

Bank Indonesia kemudian ditugasi sebagai bank sentral. Sementara status BNI sebagai bank sentral resmi dicabut dan diubah menjadi bank BUMN biasa pada 1968. (ito) 
 

 

Berita Terkait :
Topik Terkait
Saksikan Juga
02:50
03:27
02:06
03:04
03:16
05:48
Viral