- Dok Antara
Strategi Jitu Indonesia Menjaga Rumah Sendiri di Tengah Ancaman Konflik Laut China Selatan
Jakarta, tvOnenews.com - Laut China Selatan (LCS) merupakan kawasan yang diperebutkan oleh China dan sejumlah negara di ASEAN, seperti Filipina, Taiwan, Brunei Darussalam, Malaysia, hingga Vietnam.
Perebutan Laut China Selatan ini terjadi karena lokasi luas mencakup 3,685 juta kilometer persegi ini dipandang secara umum ada dua hal yang penting, yakni letak strategis serta potensi ekonomi.
Dari aspek strategis, perairan tersebut merupakan salah satu pintu gerbang komersial yang krusial bagi beberapa jalur pelayaran dan sebagian besar industri logistik dunia.
Laut China Selatan adalah jalur tercepat dari Samudra Pasifik ke Samudra Hindia yang menghubungkan Asia Timur dengan India, Asia Barat, Eropa, dan Afrika dengan total nilai perdagangan pada 2016 capai US$3,37 triliun.
Sementara, dari potensi ekonomi, Laut China Selatan kaya akan sumber daya hasil laut seperti memiliki cadangan minyak dan gas bumi yang signifikan.
Diperkirakan ada 11 miliar barel minyak yang belum dimanfaatkan dan 190 triliun kaki kubik cadangan gas alam.
Terkini kawasan ladang minyak dan gas bumi ditemukan di Laut China Selatan pada Jumat (8/3/2024).
Indonesia Strategic and Defence Studies di Laut China Selatan. Foto: Istimewa.
Dikutip dari kantor berita Xinhua, ladang itu diperkirakan memiliki cadangan terbukti minyak dan gas sebanyak 102 juta ton minyak ekuivalen, menurut China National Offshore Oil Corporation (CNOOC).
Ladang minyak Kaiping Selatan, yang mengandung minyak mentah ringan, terletak di bagian timur Laut China Selatan, sekitar 300 km dari Shenzhen, Provinsi Guangdong.
Rata-rata kedalaman laut di ladang minyak itu mencapai sekitar 500 meter dan lubang terdalam yang dibor tercatat memiliki kedalaman 4.831 meter.
CEO CNOOC Zhou Xinhuai menyebutkan mengeksplorasi perairan dalam dan mengebor lubang dalam akan memicu peningkatan cadangan serta output minyak dan gas.
CNOOC menambahkan ini adalah cadangan minyak pertama dengan kedalaman air lebih dari 300 meter dan kedalaman sumur lebih dari 3.000 meter yang ditemukan melalui upaya China sendiri, serta yang terbesar.
Pengujian pengeboran menghasilkan lebih dari 1.000 ton minyak dan gas setiap hari, yang merupakan rekor baru di China untuk ladang minyak perairan dalam dan reservoir dalam.
Ladang minyak Kaipingnan menunjukkan potensi besar eksplorasi laut dalam di Laut Cina Selatan, dan semakin mengkonsolidasikan fondasi cadangan minyak dan gas lepas pantai Tiongkok, yang penting dalam menjamin keamanan energi negara tersebut.
Diketahui, dalam beberapa tahun terakhir, CNOOC membuat penemuan signifikan di ladang minyak reservoir dalam Bozhong 26-6 di Laut Bohai Tiongkok dan ladang gas Baodao 21-1 di bagian barat Laut Cina Selatan.
Belakangan, China juga menerbitkan peta terbarunya yang menambah satu garis putus-putus itu menjadi ten-dash lines, yang tumpang tindih dengan Zona Ekonomi Eksklusif atau ZEE Indonesia di Laut Natuna Utara.
Indonesia kini siap menghadapi ancaman konflik yang dapat muncul di Laut China Selatan, mengingat adanya klaim sepihak China tersebut atas seluruh Laut China Selatan, termasuk Laut Natuna Utara yang merupakan perairan Indonesia.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Hadi Tjahjanto mengaku Indonesia terus mewaspadai munculnya konflik terbuka di Laut China Selatan mengingat adanya sejumlah insiden di perairan sengketa itu dalam beberapa tahun terakhir.
Satuan TNI Terintegrasi (STT) di Natuna juga telah disiapkan untuk mengantisipasi ancaman konflik di perairan sengketa Laut China Selatan (LCS).
“Kita juga mencatat seringnya terjadi insiden di wilayah Laut China Selatan yang apabila tidak dikelola dengan baik akan dapat memicu konflik terbuka,” kata Hadi saat berpidato dalam acara diskusi terkait Laut China Selatan yang digelar Indonesia Strategic and Defence Studies (ISDS) di Jakarta, Selasa (19/3/2024).
Menko Polhukam RI, Hadi Tjahjanto. Foto: Antara.
Selain itu, dalam merespon permasalahan Laut China Selatan, di bidang pertahanan dan keamanan, pemerintah mendorong program major project dalam upaya penguatan keamanan Laut Natuna melalui kecukupan alutsista dan peningkatan sarana dan prasarana satuan terintegrasi TNI
Penguatan satuan terintegrasi TNI di Natuna itu pun merupakan tindak lanjut atas Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2020 tentang RPJMN 2020–2024.
Tidak hanya itu, Hadi menilai sengketa menjadi kian rumit karena rivalitas antara dua negara adidaya, China dan Amerika Serikat pun menguat.
Satu sisi China semakin agresif menempatkan kapal-kapal coastguard-nya di perairan-perairan sengketa.
Sementara AS juga membangun pakta pertahanan, yaitu AUKUS (AS, Inggris, Australia) dan QUAD (AS, India, Jepang, dan Australia) untuk membendung pengaruh China.
Oleh karenanya, Indonesia berkewajiban menjalankan mandat pembukaan UUD 1945, yang di antaranya memelihara perdamaian dunia.
“Kita tidak ingin melihat wilayah Laut China Selatan justru dijadikan ajang proyeksi kekuatan negara major powers (negara adidaya, red.) dan menjadi episentrum konflik. Kita harus mampu mengubah Laut China Selatan menjadi sea of peace,” kata Menko Polhukam RI Hadi.
Indonesia sendiri sejauh ini aktif mendorong negara-negara yang bersengketa untuk segera menyepakati tata perilaku (code of conduct/CoC) di Laut China Selatan.
“Atas inisiatif dan dorongan Indonesia sebagai Ketua ASEAN pada 2023, ASEAN dan China berhasil menyepakati percepatan perundingan CoC. Kita menargetkan CoC dapat difinalisasi dalam kurun waktu tiga tahun, yaitu pada 2025,” ungkapnya.
Hadi optimistis jika dokumen itu berhasil disepakati, maka itu akan menjadi dasar untuk meningkatkan rasa saling percaya (mutual trust) terutama dalam mengelola sengketa dan konflik di Laut China Selatan.
“Kita tidak ingin melihat wilayah Laut China Selatan justru dijadikan ajang proyeksi kekuatan negara major powers dan menjadi episentrum konflik. Kita harus mampu mengubah Laut China Selatan menjadi sea of peace,” tutur dia.
Strategi Indonesia di tengah konflik Laut China Selatan
Pengamat militer dan Co-Founder Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi menyebutkan Indonesia harus memperkuat TNI untuk mengantisipasi terjadinya peperangan jika jalur diplomasi tidak berhasil dalam meredam konflik yang terjadi di Laut China Selatan.
"Indonesia harus concren pada mempersiapkan terjadinya perang di Laut China Selatan sehingga baik pengadaan alutsista maupun persiapan fasilitas militer juga diarahkan untuk ke kawasan utara, termasuk di Natuna," kata Khairul di Jakarta, Rabu (13/3/2024).
Dia juga menilai, peperangan antarnegara yang bersengketa di Laut China Selatan mungkin saja akan terjadi mengingat tensi konflik yang tidak kunjung reda.
"Bukan tidak mungkin pada masa depan akan berkembang menjadi konflik terbuka dan meluas sehingga itu yang kemudahan harus diantisipasi," kata dia.
Oleh karenanya, pemerintah perlu memperkuat pengamanan batas laut Indonesia yang berdekatan dengan kawasan Laut China Selatan dengan menambah alutsista, memperkuat personel hingga meningkatkan teknologi pengawasan teritorial.
Namun demikian, dia tetap berharap konflik yang terjadi di Laut China Selatan tidak diselesaikan dengan peperangan.
"Indonesia sebagai salah satu negara terbesar di Asia dapat mengambil peran dalam meredam konflik perebutan kawasan laut tersebut," tandasnya.
Tidak hanya di sisi diplomasi militer, Indonesia juga harus fokus pada menjaga kawasan sendiri sebelum melakukan upaya perdamaian antarnegara.
Pengamat militer Alman Helvas Ali menerangkan Indonesia harus mempunyai database seluruh kapal yang ada di kawasan.untuk menjaga teritorial laut dari masuknya kapal asing.
Dengan database tersebut, TNI AL akan dengan mudah mendeteksi melalui acoustic signature yang dipancarkan setiap kapal yang terdeteksi radar.
Acoustic signature merupakan gelombang akustik yang dipancarkan kapal selam dan kapal-kapal permukaan saat mereka beroperasi di laut.
Tidak hanya itu, dia juga menekankan pentingnya memiliki sistem deteksi bawah laut (underwater listening devices) yang dipasang di perairan-perairan rawan, yaitu perairan-perairan sempit (choke point) di Selat Malaka, Selat Sunda, Selat Lombok, Selat Sulawesi, dan Laut Natuna Utara.
"Peningkatan teknologi keamanan ini akan membuat Indonesia kuat dan disegani di panggung Asia. Dengan demikian, jalan Indonesia dalam mendamaikan konflik di LCS akan makin mulus karena suaranya pasti akan didengar negara lain," imbuh dia.
Prabowo bertemu Presiden China Xi Jinping
Salah satu yang terbaru yakni Indonesia melalui Menteri Pertahanan sekaligus Presiden terpilih Prabowo Subianto melakukan pertemuan dengan jajaran pejabat kunci China pada 1 -- 2 April 2024.
Prabowo kala itu menemui Presiden China Xi Jinping, PM China Li Qiang, dan Menteri Pertahanan Admiral Dong Jun.
Pertemuan tersebut dilakukan untuk menjalin kerja sama antara negara di bidang pertahanan, dan diyakini juga untuk membahas upaya perdamaian di LCS.
"Kita harus tetap waspada karena sering kali apa yang dikatakan oleh China di dunia diplomasi berbeda dengan apa yang mereka lakukan di laut," kata Alman
Menurut Alman, bagaimanapun China akan selalu mengklaim akan kepemilikan wilayah di LCS.
Terlebih beberapa kali China seperti menunjukkan sikap perdamaian dan ingin menyudahi perebutan wilayah laut itu.
Namun, sikap tersebut berbanding terbalik dengan apa yang dilakukan di LCS.
"China ini bermain dua muka. China mengklaim semua wilayah selatan adalah teritorial dia," jelasnya.
Walau dinamika diplomasi kerap tidak membuahkan hasil yang diinginkan Indonesia, pendekatan demi pendekatan akan terus dilakukan demi terciptanya perdamaian kawasan.
Penguatan militer tetap berjalan beriringan dengan upaya diplomasi tersebut.
Dengan konsistennya upaya Indonesia menjadi penengah di tengah negara-negara yang berkonflik itu, niscaya perdamaian yang didambakan Indonesia dan seluruh negara ASEAN bisa tercipta di Laut China Selatan.(lkf)