- Istimewa
Stafsus Muda Kementerian Investasi/BKPM Singgung Ketidakadilan dalam Kerja Sama Antarnegara di Konferensi UNCTAD ke-60
Jakarta, tvOnenews.com - Konferensi Tingkat Tinggi PBB untuk Perdagangan dan Pembangunan (UNCTAD) ke-60 yang diselenggarakan Rabu (15/03) di Kota Bandung, mendapat sorotan dari Stafsus Muda Kementerian Investasi/BKPM Pradana Indraputra. Dia menyoroti soal ketidakadilan dalam kerja sama antarnegara
Pradana mengutip World Bank dan Our World in Data mengenai fakta produksi emisi gas kaca dunia. Delapan negara dengan ekonomi terbesar, yang mencakup 30 persen populasi dunia, telah menyumbang 54 persen dari total emisi gas rumah kaca dari tahun 1998 hingga 2022.
Sementara itu, 70% populasi dunia lainnya, yang sebagian besar adalah negara berkembang, harus menanggung beban yang sama yang disebabkan oleh 8 negara tersebut.
Terkait dengan hal itu, Pradana menegaskan bahwa dalam kolaborasi antarnegara, memerlakukan semua negara dengan cara yang sama adalah sesuatu yang tidak adil.
Sebab, dia merasa setiap negara mempunyai kapasitas, kemampuan, dan sumber daya keuangan yang berbeda.
"Kita harus memperlakukan setiap negara sesuai dengan kebutuhan dan kekuatannya, memastikan keadilan dan kesetaraan. Negara-negara maju secara historis berkontribusi lebih besar terhadap emisi, sehingga mereka harus mendukung negara-negara berkembang untuk membantu mereka mencapai kemajuan dengan kecepatan yang sama. Ini adalah landasan fundamental dari kerjasama antar negara," kata Pradana, Kamis (16/5/2024).
Selain isu kesetaraan, isu greenflation yang sempat diangkat oleh Wakil Presiden Terpilih Gibran Rakabuming Raka, kembali dibahas dalam KTT ini.
"Berdasarkan pengalaman kami (Kementerian Investasi/BKPM), agar transisi energi bersih menjadi berkelanjutan, transisi tersebut harus terjangkau secara ekonomi dan terjangkau. Pertanyaannya adalah bagaimana mencapai hal ini," katanya.
Greenflation sendiri adalah ketidakseimbangan antara jumlah penawaran dan permintaan yang menyebabkan biaya transisi energi bersih menjadi tidak terjangkau secara ekonomi.
"Sebagai tambahan, transfer teknologi sangat penting untuk menjadikan energi bersih terjangkau secara ekonomi," imbuhnya.
Menurut Pradana, pemerintah Indonesia juga harus berevolusi dari sekedar regulator, menjadi fasilitator dan matchmaker.
"Kementerian Investasi di Indonesia berwenang memberikan insentif fiskal, seperti tax holiday dan tunjangan. Transisi energi bersih merupakan salah satu kategori yang memenuhi syarat untuk menerima insentif ini," kata dia.
"Kami dapat menawarkan pembebasan pajak kepada perusahaan hingga 20 tahun. Kami juga berencana untuk memperluas insentif ini ke semua praktik berkelanjutan, tidak hanya energi bersih. Pendekatan holistik inilah yang kami sebut sebagai kebijakan industri dan keuangan yang ramah lingkungan. Indonesia siap bekerja sama dengan negara lain dalam upaya ini," tutup Pradana.(lgn)