- tvOne
Pakar Psikologi Forensik Ungkap 'Kelemahan' Penegakan Hukum Kasus Vina, Singgung Kekerasan Penyidik hingga Soal Sperma
Jakarta, tvOnenews.com - Kasus pembunuhan Vina Cirebon memasuki babak baru usai pihak kepolisian menangkap salah satu DPO bernama Pegi alias Perong di Kota Bandung.
Meski begitu masih banyak pekerjaan rumah pihak kepolisian dalam mengungkap misteri kasus pembunuhan Vina Cirebon yang terjadi 8 tahun silam.
Sejak kasus ini kembali viral, usai kisahnya diangkat ke layar lebar dengan judul film Vina: Sebelum 7 Hari, banyak kejanggalan-kejanggalan yang terungkap ke publik.
Pakar Psikolog Forensik Reza Indragiri Amriel pun menilai ada 3 kelemahan dalam proses penegakan hukum kasus Vina Cirebon.
"Pertama adalah terkait foto 6 orang terpidana kasus Vina Cirebon dalam kondisi babak belur. Perkiraan saya adakah kemungkinan para tersangka ini dulunya diinterogasi dengan cara-cara penyiksaan," kata Reza kepada tvOne, Rabu (22/5/2024)
Menurut Reza, tampaknya penyidik berusaha untuk keras menguber pengakuan para tersangka yang saat ini sudah divonis.
"Saya mengkritik itu, karena secara umum kalau ternyata proses penegakan hukum mengandalkan pada mencari pengakuan, pengakuan itu mengandalkan daya ingat, daya ingat mudah terfragmentasi artinya mudah pecah-pecah sampai kemudian menghilang, dan juga mudah mengalami distorsi belok kanan, belok kiri," ungkapnya.
Hingga akhirnya, kata Reza, Psikologi Forensik sampai pada suatu kesimpulan, bahwa barang yang paling menggangu proses pengungkapan fakta adalah manusia, daya ingat manusia.
"Rekomendasinya jangan terlalu menghabiskan banyak waktu dan stamina untuk menguber pengakuan. Alih-alih menguber pengakuan, ayo cari alat bukti yang lain, ayo gunakan cara-cara scientific," katanya.
"Kondisi tersangka babak belur boleh jadi merupakan indikasi penyidik menggunakan cara-cara kekerasan untuk menguber pengakuan para tersangka," tambahnya.
Kedua adalah soal sperma yang berdasarkan hasil autopsi ditemukan di jasad Vina. Reza mengakui jika pembahasan sperma ini adalah urusan pihak kedokteran.
"Tapi latar spikis yang bisa menjelaskan bagaimana datangnya atau keberadaan sperma ini, itu urusan psikologi forensik. Yang ingin saya katakan ketika ada sperma di tubuh korban apakah itu bisa dipastikan itu pemerkosaan? belum tentu," tegasnya.
Karena, kata Reza sperma di tubuh korban bisa berasal dari sebuah aktivitas seksual yang bersifat paksaan, yang berarti memang kekerasan atau pidana.
"Tapi jangan lupa sperma juga bisa merupakan akibat dari aktivitas seksual yang konsensual alias mau sama mau. Itu harus dicek oleh kepolisian. Keberadaan sperma ini sesungguhnya berawal dari aktivitas seksual yang paksaan atau mau sama mau," bebernya.
Menurutnya, banyak cara untuk mengungkap misteri pemilik sperma di tubuh Vina. Bisa melalui proses autopsi, investigasi, pemeriksaan terhadap tersangka dan korban kalau masih hidup.
"Kalau itu tidak dilakukan maka praktis kita tidak bisa mengatakan ini sudah terjadi perkosaan. Kita juga tak bisa memastikan bahwa ini didahului aktivitas seksual mau sama mau. Dalam kasus ini ada berapa orang laki-laki, kan ini harus dijawab, ini spermanya siapa? itu hanya bisa dibuktikan lewat uji DNA," katanya.
Kemudian kelemahan ketiga kata Reza adalah kepastian kasus, apakah kasus pembunuhan atau kecelakaan seperti isu yang sempat beredar.
"Untuk mengetahui apakah ini betuk-betul pembunuhan, sekarang dihadapkan dengan kemungkinan kecelakaan. Ini sebetulnya ada di ranah kedokteran. Silakan cek antara hasil autopsi dengan tuntutan jaksa, harusnya ini sinkron. Kalau memang sinkron alias sama maka praktis ini tidak ada persoalan," jelasnya.
"Tapi kalau antara tuntutan dan hasil outopsi terkait dengan trauma pada tubuh korban ternyata berbeda itu jadi persoalan," pungkasnya.(muu)