- Tim tvOne
Saksi Liga Akbar Dipercaya Bisa Bongkar Kasus Vina, Psikologi Forensik Reza Indragiri Bebekan 'Kelemahan' dalam Proses Penegakan Hukum
Jakarta, tvOnenews.com - Pakar Psikologi Forensik, Reza Indragiri Amriel menilai terdapat 'kelemahan' dalam proses penegakan hukum pada kasus pembunuhan Vina dan Eky 2016 hingga sekarang, seusai muncul saksi lama Liga Akbar alias Gaga memberikan keterangan di Polda Jabar.
Sebelumnya, Liga Akbar alias Gaga ialah saksi kunci yang dipercaya bisa membongkar kasus Vina Cirebon kembali diperiksa penyidik Polda Jabar.
Liga Akbar ialah salah satu saksi yang dihadirkan dalam persidangan kasus pembunuhan dan pemerkosaan Vina dan Eky 2016-2017 silam.
Kuasa hukum tersangka Pegi Setiawan, Tony RM menyatakan kesaksian Liga Akbar akan meringankan kliennya yang diduga sengaja dijadikan pelaku.
Menanggapi hal tersebut, Reza Indragiri menilai dengan munculnya saksi-saksi tersebut, terdapat titik kelemahan penyidik dalam membongkar kasus tersebut.
"Justru, sejak awal saya memandang bahwa salah satu loopholes atau 'kelemahan' dalam proses penegakan hukum atas kasus ini adalah terlalu mengandalkan pada mencari pengakuan, atau membongkar ingatan dan seterusnya," kata Reza kepada tvOne dilansir, Rabu (5/6/2024).
Reza berani menyebut adanya loopholes atau celah hukum dalam kasus tersebut, lantaran adanya ketergantungan penyidik pada keterangan saksi.
Padahal, dia menyebut dari sudut pandang psikologi forensik mengandalkan daya ingat manusia itu sangat sulit.
Sebab, Reza mengatakan kasus tersebut telah terjadi delapan tahun silam, sehingga keterangan saksi bisa saja tidak akurat.
"Kenapa saya katakan itu sebagai loopholes? Karena dari sudut parsikologi forensik cara-cara yang diforsir untuk mencari pengakuan, membongkar keterangan, dan sejenisnya mengandalkan daya ingat manusia yang notabene sangat mudah terfragmentasi dan terdistorsi," jelasnya.
"Artinya sangat mudah untuk terpecah-pecah dan sangat mudah pula untuk belok kanan, belok kiri, terlebih peristiwa yang harus diingat-ingat ini berlangsung 8 tahun lalu," tambahnya.
Selain itu, Reza menyoroti bahwa peristiwa yang bakal diingat para saksi bukan hal yang sederhana, melainkan sebuah tragedi kemanusian.
Dia mengatakan kondisi itu tidak akan mudah untuk kembali diingat para saksi.
"Peristiwa yang harus diingat-ingat dan diceritakan itu sesungguhnya bukan peristiwa yang menyenangkan, (melainkan) peristiwa yang menakutkan. Peristiwa yang mengerikan ada warna kekerasan, ada warna penganiayaan," paparnya.
Dengan demikian, Reza menyebutkan secara psikologis, para saksi tersebut belum tentu bisa menceritakan peristiwa itu dengan detail.
"Otak manusia secara otomatis tanpa disuruh pasti akan menjaga kestabilannya dengan cara apa tadi mencoba dia pecah belah dan dia belokkan ke sana kemari. Supaya, memori itu tidak terus-menerus terhantui oleh kenangan buruk tentang peristiwa kejahatan atau peristiwa kekerasan dan sejenisnya," kata dia.
Oleh karena itu, Reza menyarankan penyidik Polda Jabar agar lebih fokus mencari bukti lainnya dengan cara scientific crime investigation.
"Bagi saya ketimbang memforsir waktu tenaga untuk sekali lagi mencari pengakuan, membongkar keterangan saksi dan seterusnya, memang lebih tepat kalau kemudian digunakan alat-alat bukti lainnya sepanjang yang dilakukan dengan tetap berbasis pada pendekatan santifik," imbuhnya.
Reza Indragiri Amriel menilai bukti scientific crime investigation kasus Vina lemah, sehingga Polda Jabar memburu keterangan saksi.
Dia menyinggung keterangan saksi dalam peristiwa 2016 itu tidak mudah, karena bisa berubah karena ada kepentingan.
"Ada saksi yang katanya menyaksikan peristiwa itu pada malam hari sekirar jam 10 malam. Sekali lagi, peristiwanya menakutkan, tempatnya juga gelap. Izinkan saya untuk menempatkan fase itunproses semacam pendekatan kesekian saja," ujar Reza Indragiri.
Reza lantas beranjak menjelaskan soal adanya loopholes atau celah hukum dalam penyidikan kasus pembunuhan Vina.
Dia menyenutkan celah hukum tersebut berupa tidak berjalannya scientific crime investigation, dengan menguji DNA korban dan pelaku.
"Misalnya, kenapa tidak dilakukan uji maaf ya uji sperma untuk memastikan apakah sudah terjadi perkosaan atau tidak? Pandangan saya adalah sperma memang urusan kedokteran, tetapi berbicara tentang latar psikis atau kondisi psikis yang mendahului keberadaan sperma itu urusan psikologi forensik," jelasnya.
Lantas, Reza mengungkapkan terdapat pertanyaan soal bukti sperma tersebut bisa menguak kasus perkosaan yang dialami korban Vina.
"Pertanyaannya ada dua. Pertama apakah bisa dipastikan bahwa sperma yang disebut-sebut ditemukan di tubuh korban itu didahului oleh aktivitas seksual yang forceful atau aktivitas seksual yang konsensual?"kata dia.
"Kalau sperma itu didahului oleh aktivitas seksual yang forceful yang ada unsur paksaan di dalamnya, masuk akal kalau kemudian muncul spekulasi atau dugaan ini adalah perkosaan," tambahnya.
Reza melanjutkan pertanyaan selanjutnya ialah sprema tersebut dimiliki oleh para terpidana atau tidak.
Menurutnya, kedua pertanyaan tersebut tidak bisa dijawab lantaran ada kelemahan scientific crime investigation.
"Ada sekitar 13 laki-laki yang ada dalam kasus ini sekali lagi pertanyaannya ini sperma siapa yang menurut saya juga tidak terjawab. Sebab, Dirkimum Polda Jabar waktu itu pun mengakui bahwa tidak dilakukan uji DNA terhadap sperma itu. Mah, saya sudah ini yang saya sebut sebagai Loophole kedua keanehan kedua kelemahan kedua," imbuhnya.(lgn)