Kolase foto Kapolda Sumbar Irjen Suharyono, almarhum Afif Maulana, dan pakar psikologi forensik Reza Indragiri..
Sumber :
  • Kolase Tim tvOnenews

Terang Benderang, Analisis Tajam Reza Indragiri Soal Kematian Afif Maulana yang Disebut Kapolda Sumbar karena Terjun ke Sungai

Minggu, 7 Juli 2024 - 13:32 WIB

Jakarta, tvOnenews.com - Kasus siswa SMP bernama Afif Maulana (AM) di Sumatera Barat (Sumbar) yang tewas diduga, karena dipukuli oleh polisi kini tengah jadi sorotan publik.

Pernyataan polisi yang menyebut Afif tewas usai terjun ke sungai itu kini jadi sorotan banyak pihak.

Diketahui, Kapolda Sumatera Barat, Irjen Pol Suharyono mengungkap bahwa Afif tewas bukan, karena dianiaya polisi.

Berdasarkan keterangan salah satu saksi, lanjut Suharyono, pada saat kejadian, polisi awalnya memang melakukan pengejaran terhadap sekelompok siswa yang akan tawuran.

Saksi tersebut adalah teman AM yang juga dikejar polisi.

Afif, kata SUharyono, bahkan sempat mengajak saksi untuk terjun ke sungai agar terhindar dari kejaran polisi.

"Yang dia ingat bahwa AM ini mengajak A terjun ke sungai sebelum terjadi penangkapan oleh aparat kepolisian," kata Suharyono, diwawancarai tvOne, Senin (24/6).

Namun, saat itu saksi tidak mau mengikuti ajakan Afif. Kemudian, Afif terjatuh dari motor dan saksi tidak tahu apa yang terjadi pada temannya itu.

Para siswa yang diduga akan tawuran itu kemudian dibawa ke kantor polisi.

Akan tetapi, pada saat itu tidak ada nama Afif dalam daftar siswa yang ditangkap oleh polisi setempat.

Oleh karenanya, polisi menduga Afif kemudian terjun ke sungai. Afif pun kemudian ditemukan tewas di Sungai Batang Kuranji, Padang, Sumatera Barat pada Minggu (9/6).

Terkait hal itu, pakar psikologi forensik, Reza Indragiri mempertanyakan seberapa mungkin Afif melompat dari atas jembatan untuk menyelamatkan diri dari kejaran polisi.

Reza menjelaskan bahwa teman sepermainan punya pengaruh besar terhadap Afif yang masih remaja, baik dalam berpikir maupun beraktivitas.

"Posisi Afif dalam kegiatan pada malam tersebut sebagai pihak yang diajak. Dia diajak mengikuti kegiatan oleh teman yang beberapa tahun lebih tua daripada dirinya. Afif berumur puber, sementara temannya berusia pascapuber. Afif bukan pengendali, apalagi penginisiasi," kata Reza dalam keterangannya yang diterima tvOnenews.com, Minggu (7/7).

Reza menambahkan bahwa situasi pada malam kejadian itu kritis bahkan menakutkan, karena Afif dan teman-temannya dikejar polisi.

"Kombinasi ketiga hal tersebut mendorong bekerjanya sistem berpikir 1, bukan sistem berpikir 2. Sistem berpikir 1 berlangsung secara sangat cepat. Data di-bypass sangat ekstrim, sehingga proses berpikir laksana garis lurus tanpa percabangan. Tidak ada opsi keputusan yang bersifat majemuk," ujar Reza.

Menurut Reza, Afif yang masih remaja hanya memiliki opsi tunggal dalam situasi kritis tersebut, yakni menyamakan diri dengan keputusan atau perilaku orang-orang lain.

"Sehingga, hitung-hitungan di atas kertas, kalau teman-temannya lari, maka Afif juga akan lari. Kalau teman-temannya melawan, Afif juga akan melawan, dan sejenisnya," ujar Reza.

"Andai dibayangkan bahwa ketika teman-temannya menyerah kepada polisi, Afif justru menjadi satu-satunya orang yang melompat dari jembatan, perilaku Afif sedemikian rupa bertolak belakang dengan rumusan tadi," sambung Afif.

Reza mengatakan bahwa kemungkinan Afif melompat dari atas jembatan itu selalu ada. Namun, menurut Reza, dalam situasi genting tersebut, Afif bakal memutuskan untuk melakukan apa yang dilakukan teman-temannya.

"Landasan berpikir saya condong mengarah ke probabilitas yang lebih besar bahwa dalam situasi genting pada saat dikejar polisi, Afif akan membuat keputusan untuk juga melakukan apa yang dilakukan oleh teman-temannya," ujar Reza. (dpi)

 

Berita Terkait :
Topik Terkait
Saksikan Juga
05:00
03:06
01:31
03:53
02:26
06:36
Viral