- ANTARA
Kasus Penghalangan Kerja Jurnalis di Bintan, Polisi Selidiki Laporan AJI soal Oknum Satpol PP
Jakarta, tvOnenews.com - Polres Bintan, Polda Kepulauan Riau (Kepri) menindaklanjuti laporan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Tanjungpinang terhadap dugaan penghalangan kerja jurnalis saat rapat dengar pendapat (RDP) di kantor DPRD Kabupaten Bintan.
Hal itu ditandai dengan pemanggilan dua pelapor (jurnalis) yang juga pengurus AJI Tanjungpinang dalam dugaan kasus tersebut oleh Unit Tindak Pidana Polres Bintan di mapolres setempat.
"Pemanggilan kedua pelapor untuk dimintai keterangan sebagai saksi korban dalam dugaan penghalangan kerja jurnalis di kantor DPRD Bintan," kata Kanit Tipiter Polres Bintan Ipda Adi Satrio Gustian, Selasa (30/7/2024).
Setelah ini, kata dia, Polres Bintan akan kembali menjadwalkan pemanggilan terhadap staf dan oknum Satpol PP yang diduga melakukan penghalangan jurnalis saat hendak meliputi RDP di kantor DPRD Bintan.
"Termasuk pihak yang memberi perintah dugaan pelarangan kerja jurnalis tersebut," ujar Ipda Adi.
Sementara, Koordinator Bidang Advokasi AJI Tanjungpinang Muhammad Bunga Ashab berharap penyidik Polres Bintan dapat mengusut tuntas pihak yang memberikan perintah kepada oknum staf DPRD Bintan dan Satpol PP yang melarang sejumlah jurnalis dalam melaksanakan kerjanya.
"Kami berharap siapapun yang terlibat dalam kasus ini bisa segera terungkap," katanya.
Pria yang akrab disapa Choky ini memastikan AJI Tanjungpinang akan terus mengawal laporan tersebut hingga tuntas, bahkan sampai ke meja hijau.
Ia mengatakan AJI Tanjungpinang resmi melayangkan surat aduan ke polisi terkait tindakan pelarangan liputan oleh oknum staf DPRD dan Anggota Satpol PP Bintan terhadap sejumlah jurnalis, Rabu (17/7).
Dalam surat aduan itu, lanjutnya, AJI Tanjungpinang menyatakan jika tindakan yang dilakukan oleh oknum staf DPRD Bintan dan anggota Satpol PP tersebut merupakan tindakan yang keliru, karena melanggar kebebasan pers yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28F ayat (1) dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers Pasal 4 ayat (1).
Dalam Undang-Undang itu dijelaskan jika kebebasan pers adalah hak untuk mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan informasi, termasuk hak untuk mengambil gambar atau merekam aktivitas di tempat umum.
"Sehingga tidak salah, para jurnalis melakukan peliputan di kantor DPRD Bintan, sebab kawasan itu merupakan aktivitas umum," sebutnya.
Selain itu, tindakan pelarangan itu juga bertentangan dengan Undang-undang tentang Pers Pasal 18 Ayat (1). Pada Pasal itu dijelaskan, menghalangi wartawan melaksanakan tugas jurnalistik dapat dipidana dua tahun penjara.
"Atau denda paling banyak Rp500 juta," katanya menegaskan.
Choky menceritakan kronologis penghalangan kerja jurnalis bermula ketika seorang jurnalis perempuan Yuli bersama lima rekan jurnalis lainnya hendak menuju ke lantai dua DPRD Bintan untuk meliput RDP antara Komisi I DPRD dengan PT Japfa.
Sebelum menuju tangga ke lantai dua, mereka tiba-tiba dipanggil oleh seorang oknum staf DPRD Bintan yang waktu itu ada di lantai satu gedung tersebut.
Oknum staf bersangkutan menanyakan maksud dan tujuan mereka (jurnalis), lalu dijawab ingin melakukan peliputan.
"Tapi oknum staf tersebut justru melarang dan memanggil anggota Satpol PP yang bertugas di gedung itu dan mengusir jurnalis," papar Choky.
Ketika ditanya dasar pengusiran tersebut, baik oknum staf DPRD maupun anggota Satpol PP tak menjawabnya secara lugas.
"Mereka hanya mengatakan, jika larangan jurnalis untuk meliput kegiatan RDP itu berdasarkan arahan. Tapi tidak dijelaskan, arahan siapa yang dimaksud," demikian Choky meniru penjelasan Yuli.(ant/lgn)