- tvOnenews.com/Julio Trisaputra
Revisi UU Pilkada, Perjalanan dari Meja Hakim MK Hingga Baleg DPR
Jakarta, tvOnenews.com - Gelombang rakyat tumpah ruah serentak berdemonstrasi di berbagai wilayah Indonesia pada Kamis (22/8) atau sehari setelah Badan Legislasi (Baleg) DPR RI sepakat bakal mengesahkan RUU Pilkada terkait persyaratan Pilkada.
Kegeraman rakyat bukan tanpa sebab, persetujuan anulir putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait persyaratan Pilkada dilakukan Baleg DPR RI hanya satu hari setelah MK membuat keputusan soal penyesuaian ambang batas suara mengajukan calon dan syarat minimal usia calon kepala daerah pada Selasa (20/8).
Semua itu berawal saat pada Selasa lalu, MK mengabulkan sebagian gugatan yang diajukan Partai Buruh dan Partai Gelora terhadap UU Pilkada.
Putusan MK tersebut merupakan gugatan perkara nomor 60/PUU-XXII/2024.
MK menyatakan menolak permohonan provisi para pemohon. Namun, Hakim MK mengabulkan bagian pokok permohonan.
MK menyatakan Pasal 40 ayat (3) UU Pilkada inkonstitusional.
"Jika dibiarkan berlakunya norma Pasal 40 ayat (3) UU 10/2016 secara terus menerus dapat mengancam proses demokrasi yang sehat," demikian keterangan MK.
Adapun isi pasal 40 ayat (1) UU Pilkada sebelum diubah ialah:
"Partai Politik atau gabungan Partai Politik dapat mendaftarkan pasangan calon jika telah memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau 25% (dua puluh lima persen) dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di daerah yang bersangkutan".
Sementara, amar putusan MK yang mengubah isi pasal 40 ayat (1) UU Pilkada, sebagai berikut:
Partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu dapat mendaftarkan pasangan calon jika telah memenuhi persyaratan sebagai berikut:
Untuk mengusulkan calon gubernur dan calon wakil gubernur:
a. Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap sampai dengan 2 juta jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 10% di provinsi tersebut
b. Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 2 juta jiwa sampai 6 juta jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 8,5% di provinsi tersebut
c. Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 6 juta jiwa sampai 12 juta jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 7,5% di provinsi tersebut
d. Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 12 juta jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 6,5% di provinsi tersebut
Untuk mengusulkan calon bupati dan calon wakil bupati serta calon wali kota dan calon wakil wali kota:
a. Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 250 ribu jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 10% di kabupaten/kota tersebut
b. Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 250 ribu sampai 500 ribu jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 8,5% di kabupaten/kota tersebut
c. Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 500 ribu sampai 1 juta jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 7,5% di kabupaten/kota tersebut
d. Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 1 juta jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 6,5% di kabupaten/kota tersebut.
Kesimpulannya, Hakim MK memutuskan partai atau gabungan partai politik bisa mengajukan calon kepala daerah meski tidak memiliki kursi di DPRD.
Selanjutnya, MK juga menolak pengubahan penentuan syarat minimum usia calon kepala daerah dalam UU Pilkada.
MK menegaskan bahwa syarat usia calon kepala daerah harus terpenuhi pada saat penetapan pasangan calon peserta Pilkada oleh KPU.
Hal itu sebagaimana dalam Putusan Nomor 70/PUU-XXII/2024. Perkara tersebut menguji konstitusionalitas Pasal 7 ayat (2) huruf e Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU Pilkada).
"Sebagai penyelenggara, KPU menetapkan batas usia minimum calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah sesuai dengan batas usia minimum yang diatur dalam undang-undang. Berkenaan dengan ini, penting bagi Mahkamah menegaskan, titik atau batas untuk menentukan usia minimum dimaksud dilakukan pada proses pencalonan, yang bermuara pada penetapan calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah," Wakil Ketua MK, Saldi Isra saat pembacaan putusan.
MK juga menjelaskan bahwa fakta empirik membuktikan penentuan keterpenuhan persyaratan calon kepala daerah termasuk soal batas minimum usaia calon kepala daerah selama ini ditentukan pada tahapan penetapan pasangan calon.
Sehari setelah putusan MK atau Rabu (21/8), Baleg DPR RI langsung bermanuver berupaya menganulir putusan MK tersebut.
Rapat Paripurna pengambilan keputusan RUU Pilkada di Gedung DPR, Jakarta Pusat, Kamis (22/8/2024). (Foto: tvOnenews.com/Syifa Aulia)
Keputusan Baleg DPR RI
Baleg DPR menggelar rapat untuk merevisi UU Pilkada, tetapi tidak merujuk kepada putusan MK.
Baleg DPR menyetujui bahwa putusan MK itu hanya berlaku bagi partai non parlemen atau sama sekali tidak memiliki kursi di DPRD.
Sementara, bagi partai yang memiliki kursi di DPRD tetap mengacu pada aturan lama, yaitu bisa mengusung calon kepala daerah jika memenuhi syarat 20 persen kursi DPRD atau 25 persen suara pemilu sebelumnya.
Selanjutnya, soal syarat penentuan minimum usia calon kepala daerah, Baleg DPR RI lebih memilih mengadopsi putusan Mahkamah Agung daripada MK sehingga batas minimum usia calon gubernur atau wakil gubernur ditentukan saat pelantikan calon terpilih.
Kemudian, DPR RI berencana untuk mengesahkan Revisi UU Pilkada tersebut pada Kamis (22/8). Namun, pengesahan tersebut batal dilakukan usai gelombang protes dari rakyat disampaikan. (dpi)