- tim tvOne - soeharto.co
Kenang Peristiwa G30S PKI Terbongkar Alasan Soeharto Tak Diculik, Jenderal Lainnya Justru Dihabisi
Jakarta, tvOnenews.com - Nama Soeharto bukan hanya dikenal sebagai Presiden ke-2 Republik Indonesia tetapi juga seorang Jenderal TNI yang sering disebut-sebut dalam peristiwa kelam G30S PKI tahun 1965 silam.
Meski para jenderal pada peristiwa G30S PKI banyak dibunuh oleh pasukan Cakrabirawa, namun Soeharto tetap aman bahkan menjadi presiden negeri ini beberapa tahun kemudian.
Pertanyaan pun akhirnya muncul mengapa Soeharto yang merupakan jenderal TNI itu selamat dari peristiwa kelam Bangsa Indonesia tersebut.
Banyak teori bermunculan atas selamatnya Soeharto dari peristiwa G30S PKI. Bahkan ada yang berpikir ia sebenarnya terlibat di balik kasus ini.
Selama masa Orde Baru informasi yang beredar adalah bahwa PKI merupakan pihak yang bertanggung jawab atas peristiwa penculikan dan pembunuhan para jenderal pada masa itu.
Meski demikian, sejarah berbicara. Nampaknya, PKI termakan kabar burung yang menyebut akan terjadi kudeta oleh para jenderal terhadap Presiden Soekarno.
Berdasarkan tulisan Peter Kasenda dalam Kematian DN Aidit dan Kejatuhan PKI disebutkan bahwa kabar burung soal mengkudeta Presiden Soekarno itu berasal dari simpatisan pertai tersebut di lingkungan militer.
Diketahui, tahun 1965 lingkungan militer terbagi-bagi menjadi beberapa faksi. Mereka saling memperebutkan pengaruh dan kekuasaan.
Beberapa di antaranya menjadi simpatisan PKI. Ditambah lagi, saat itu partai yang kini ideologinya dilarang keras di Indonesia tersebut merupakan parpol terbesar.
Di satu sisi, ada pula faksi-faksi yang anti terhadap ideologi komunis yang dibawa PKI. Hal inilah yang memunculkan isu soal kudeta.
Setelah Perang Dunia II, dunia ini terbelah menjadi dua yakni yang sepaham dengan Uni Soviet dan di sisi lain adalah sepaham dengan Amerika Serikat.
Uni Soviet dikuasai oleh ideologi komunis. Sementara Amerika Serikat berkembang dengan paham kapitalis.
Pada masa itu, PKI dan Soekarno disebut-sebut lebih condong kepada Uni Soviet. Sementara Dewan Jenderal lebih mendekat dengan Amerika Serikat.
Perbedaan itulah yang disebut memunculkan ide untuk menyingkirkan Soekarno dan anti PKI.
Setelah muncul informasi soal kudeta, sejumlah perwira militer loyalis Soekarno secara diam-diam memyusun rencana untuk mencegah terjadinya hal tersebut.
Adapun sejumlah nama yang bergerak dengan tujuan melindungi Soekarno yakni Komandan Garnisun Kodam Jaya Kolonel Abdul Latief, Komandan Batalion Pasukan Pengawal Persiden Cakrabirawa Letkol Untung, serta Komandan Resimen Pasukan Pertahanan Pangkapan di Halim, Mayor Sujono.
Sementara itu, Kepala Biru Chusus (BC) PKI Sjam Kamaruzaman adalah pihak yang menyiapkan daftar jenderal yang akan diculik oleh tim anti kudeta ini.
Rencana awalnya, mereka hanya akan menculik para jenderal yang diduga masuk ke dalam Dewan Jenderal dan akan mengkudeta Presiden Soekarno.
Namun, rupanya persiapan yang tidak matang membuat kesalahan fatal, yakni semua jenderal itu justru dibunuh dengan sadis.
Lantas, bagaimana dengan Soeharto?
Banyak informasi yang beredar soal keberadaan Soeharto pada masa pecahnya konflik PKI dan Dewan Jenderal di peristiwa G30S PKI tahun 1965.
Abdul Latief menyebutkan bahwa mereka menganggap Soeharto adalah salah satu pendukung Soekarno juga sehingga sosok jenderal itu aman.
"Kami anggap Jenderal Soeharto loyalis Bung Karno, maka tidak kami jadikan sasaran," kata Latief dalam buku Gerakan 30 September: Pelaku, Pahlawan, dan Petualang (2010).
Selain itu, Latief juga sudah berkali-kali memperingatkan soal isu kudeta terhadap Presiden Soekarno kepada Soeharto.
Pada masa itu, Mayjen Soeharto adalah Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad).
Berdasarkan kesaksian Latief, Jenderal Soeharto tidak menanggapi laporan isu kudeta oleh Dewan Jenderal.
Pada malam kelam di 30 September 1965, Latief juga menyampaikan rencananya kepada Soeharto soal upaya menggagalkan kudeta. Namun, rencana tersebut diabaikan oleh jenderal tersebut.
Sementara itu, Soeharto mengakui bahwa sebelum terjadi peristiwa G30S PKI, dirinya memang bertemu dengan Abdul Latief.
Meski demikian, di berbagai kesempatan ia memberikan kesaksian yang berbeda.
Di dalam wawancara dengan Der Spiegel tahun 1970, Soeharto mengaku ditemui oleh Latief saat berada di RSPAD Gatot Subroto menjelang peristiwa G30S PKI.
Saat itu, Soeharto sedang menjaga anaknya yang paling kecil yakni Hutomo Mandala Putra atau Tommy yang sedang dirawat.
Soeharto menyebutkan, Latief langsung ingin membunuhnya, bukan memberikan informasi apa pun.
Di dalam otobiografinya, ia mengatakan bahwa Latief tidak jadi membunuhnya karena dirinya sedang berada di tempat umum.
Pada akhirnya, pada 11 Maret 1966 (Supersemar), Soeharto dimandatkan Soekarno untuk mengatasi keadaan genting setelah peristiwa G30S PKI.
Setelah mandat tersebut, sosok Soeharto menjadi pahlawan karena berhasil menumpas PKI. Ia bahkan menjadi presiden.
Pada masa itu, terjadi pembantaian besar-besaran terhadap seluruh anggota dan simatisan PKI. Angkanya cukup fantastis, yakni setidaknya 500 ribu orang yang dituduh PKI dihabisi.
Latief pada akhirnya merasa bahwa Soeharto telah melakukan hal yang mengkhianati banyak orang, termasuk dirinya dan Bangsa Indonesia.
"Jadi, siapa yang sebenarnya telah mengakibatkan terbunuhnya para jenderal tersebut? Saya yang telah memberi laporan lebih dulu kepada Jenderal Soeharto? Atau justru Jenderal Soeharto yang sudah menerima laporan tetapi tidak berbuat apa-apa?" kata Latief.
Di dalam kesaksiannya, ia menyebut setelah laporan itu tidak ada langkah-langkah untuk menambah penjagaan terhadap para jenderal.
Justru, lanjut Latief, setelah peristiwa G30S PKI banyak rakyat yang bahkan tak tahu apa pun iku dibantai.
"Mereka bertiga (Soeharto, Umar Wirahadikusumah, dan Basuki Rachmat) kemudian malah bersama-sama menggulingkan pemerintahan Presiden Soekarno," ujar Latief. (iwh)