- Arsip Mimbar Penerangan
Sepak Bola dan PKI, Jadikan Kapten Timnas Alat Propaganda dan Undang Tim Asal Rusia
Jakarta, tvOnenews.com - Harus diakui bahwa sepak bola dan politik di Indonesia memiliki hubungan yang saling terkait.
Dalam sejarah sepak bola Indonesia, didirikannya PSSI oleh Soeratin Sosrosoegondo dkk juga sarat akan perlawanan politik terhadap Nederlandsch Indische Voetbal Bond (NIVB).
Fenomena sepak bola dan politik seolah sudah menjadi barang biasa Indonesia, termasuk ketika komunis menjadi salah satu kekuatan politik yang sangat besar melalui Partai Komunis Indonesia (PKI).
Dengan segala doktrin tabu tentang komunisme dan PKI di Indonesia saat ini, siapa sangka kekuatan politik berhaluan 'kiri' itu pernah begitu dekat dengan sepak bola di Indonesia.
"Penggunaan sepak bola sebagai alat politik tidak hanya berhenti di masa kemerdekaan. Partai Komunis Indonesia (PKI) misalnya, adalah kelompok yang paling dibenci dalam sejarah kita tapi mereka itu juga menyimpan cerita menarik tentang persepakbolaan Indonesia," kata Dean Syahreza, Senior Researcher kanal YouTube Pinter Politik dikutip tvOnenews.com, Selasa (10/9/2024).
Pemain Timnas Jadi Politisi PKI: Jadi Alat Propaganda?
Tentu sulit dibayangkan bahwa pernah ada pemain sepak bola Indonesia yang menjadi politisi berhaluan kiri. Sejarah mencatat, salah satu pemain legendaris Timnas Indonesia yang bergabung dengan PKI adalah Ramlan Yatim.
Ramlan maju sebagai calon legislatif dari PKI dalam Pemilu pertama Indonesia tahun 1955. Banyak yang beranggapan kalau PKI memanfaatkan kepopuleran Ramlan untuk mendongkrak dukungan di Pemilu.
Maklum, sepak bola saat itu sudah menjadi olahraga yang digandrungi rakyat. Terlebih, nama Ramlan sangat tersohor karena dirinya merupakan kapten PSMS Medan sekaligus pemain top Timnas yang juga sempat mengemban ban kapten. Kisah ini pernah diangkat di koran Harian Rakjat yang terbit pada 29 September 1955.
Benar saja, PKI berhasil masuk empat besar partai dengan suara terbanyak di Pemilu 1955 yang salah satunya berkat pengaruh figur sepak bola seperti Ramlan Yatim.
Lima tahun sebelum Pemilu 1955, Ketua PSSI waktu itu, R. Maladi, juga disebut-sebut sebagai simpatisan komunis.
Dipilihnya Maladi sebagai ketua PSSI diduga merupakan bagian dari strategi untuk memperkuat politik luar negeri Indonesia di bawah kepemimpinan Soekarno, yang saat itu menjalin hubungan erat dengan Peking (sekarang Beijing).
Lobi Komunis hingga Bantuan dari Soviet
PKI tercatat pernah mengundang tim sepak bola raksasa Rusia, Lokomotiv Moscow, untuk bermain di Indonesia.
Tim raksasa Beruang Merah itu sempat bertanding melawan klub-klub Tanah Air seperti Persebaya, Persija, dan PSMS.
Kehadiran Lokomotiv Moscow ini tentu nggak bisa dilepaskan dari kedekatan PKI dengan Uni Soviet, yang pada masa itu menjadi pusat kekuatan komunisme dunia.
Namun, bukan hanya PKI saja yang dekat dengan Soviet. Presiden Soekarno juga punya hubungan mesra dengan negara pusat komunisme ini.
Bahkan, kedekatan Soekarno dengan Uni Soviet berbuah manis buat mimpi besar Soekarno untuk kebangkitan olahraga Indonesia.
Di depan Soviet, Soekarno memaparkan ide untuk membangun stadion termegah di dunia yang nantinya bakal dipakai untuk Asian Games IV.
Siapa sangka, Soviet setuju untuk membantu pembangunan stadion tersebut dengan memberikan pinjaman sebesar 12,5 juta dolar AS (sekitar Rp178 miliar). Dana tersebut digunakan buat membangun Stadion Utama Gelora Bung Karno (GBK) yang kita kenal sekarang.
Pada Februari 1960, Soekarno secara resmi memulai pembangunan kompleks olahraga Senayan dengan menancapkan tiang pancang pertama stadion.
Pembangunan selesai pada 1962, dan Indonesia berhasil menggelar Asian Games IV dengan sukses, bahkan keluar sebagai runner-up di bawah Jepang.
Setelah Asian Games, Indonesia juga menggelar Ganefo (Games of The New Emerging Forces). Ganefo adalah pesta olahraga khusus yang diikuti 48 negara dari Asia, Afrika, dan Amerika Latin.
Acara ini dimotori oleh Indonesia dan menjadi simbol perlawanan terhadap negara-negara imperialis, bahkan diproyeksikan sebagai tandingan Olimpiade yang didominasi negara-negara barat.
Hadirnya Toni Pogacnik dan Kesuksesan Timnas Indonesia
Di masa silam, salah satu prestasi membanggakan Timnas adalah saat Indonesia berhasil merebut medali perunggu di Asian Games 1958 yang digelar di Tokyo, Jepang. Pelatih yang berjasa membawa Timnas Garuda ke puncak kejayaan itu adalah Antun 'Toni' Pogacnik, mantan gelandang legendaris dari Timnas Yugoslavia.
Di bawah asuhan Pogacnik, Indonesia sukses melaju hingga semifinal Asian Games 1954 di Manila, dan yang paling ikonik, Indonesia berhasil menahan imbang Uni Soviet dalam Olimpiade 1956 di Melbourne.
Pogacnik juga hampir membawa Indonesia ke Piala Dunia 1958 di Swedia, walaupun akhirnya gagal. Tapi, prestasi yang dicapai membuat Pogacnik jadi salah satu pelatih paling diingat dalam sejarah sepak bola Indonesia.
Cerita perekrutan Pogacnik sendiri tidak kalah menarik. R. Maladi, ketua PSSI di era 1950-an, terpesona dengan permainan Timnas Yugoslavia di Olimpiade 1952 yang kala itu dilatih Pogacnik.
Maladi bahkan dikabarkan terbang langsung ke Yugoslavia untuk merayu Pogacnik agar mau melatih Indonesia.
Demi mempermudah prosesnya, Maladi juga melaporkan hal ini ke Presiden Soekarno, yang kebetulan punya hubungan baik dengan Presiden Yugoslavia, Josip Broz Tito.
Setelah beberapa penjajakan, akhirnya Pogacnik resmi melatih Timnas Indonesia pada tahun 1954.
Perjalanan sepak bola Indonesia di masa lalu tidak hanya soal pertandingan di lapangan, tapi juga erat kaitannya dengan politik.
Dari Ramlan Yatim yang terjun ke dunia politik lewat PKI, sampai hubungan erat Soekarno dengan Soviet yang berujung pada pembangunan Stadion GBK. Semua ini menunjukkan bahwa sepak bola, baik di dalam maupun luar lapangan, selalu punya kaitan erat dengan dinamika politik Indonesia. (rpi)