- Antara
Rencana Pertemuan Prabowo dan Megawati Dinilai Tak Untungkan Pemerintahan Selanjutnya
Jakarta, tvOnenews.com - Rencana pertemuan antar Presiden RI terpilih Prabowo Subianto dengan Ketum PDIP, Megawati Soekarnoputri berhembus kencang hingga menyita perhatian publik.
Pendiri Haidar Alwi Institute (HAI), R Haidar Alwi menilai pertemuan tersebut dapat bermanfaat bagi kedua belah pihak jika Megawati memilih bergabung dengan pemerintahan Prabowo-Gibran.
"Bahkan mudaratnya lebih besar daripada manfaatnya karena tidak ada lagi partai politik yang menjadi kontrol kekuasaan jika PDIP bergabung ke dalam pemerintahan Prabowo-Gibran," kata Haidar dalam keterangannya, Jakarta, Senin (16/9/2024).
Haidar menilai jikalau pertemuan itu berlangsung tidaklah gratis secara politik, melainkan ada harga yang harus dibayar misalkan sejumlah kursi menteri untuk PDIP.
Terlebih, PDIP merupakan partai dengan jumlah kursi terbanyak di DPR dan belum menyatakan bergabung ke dalam koalisi pemerintahan Prabowo-Gibran.
"Dengan kondisi demikian, PDIP berada pada posisi tawar yang lebih tinggi. Apalagi PDIP tahu bahwa Prabowo tidak menginginkan adanya oposisi. Karena itu, PDIP pastinya akan jual mahal," Haidar.
Tak hanya itu, kata Haidar, meskipun Prabowo dan Megawati memiliki hubungan yang sangat baik, ada beberapa faktor yang membuat PDIP sulit bergabung ke dalam pemerintahan Prabowo-Gibran.
"Pertama, faktor sejarah. Orde lama versus orde baru. Soekarno versus Soeharto. Dan kita tahu, ada Titiek Soeharto bersama Prabowo," ungkap Haidar.
Haidar meyakini, orde baru merupakan mimpi buruk dan memori kelam yang sangat membekas dalam ingatan Megawati.
Baik pada masa awalnya ketika Soeharto menduduki tampuk kekuasaan menggantikan Soekarno maupun pada akhirnya saat Megawati berperan dalam reformasi tumbangnya orde baru.
"Kedua, faktor SBY," katanya.
Ia melihat, hingga saat ini Megawati belum bisa menerima kekalahannya dari SBY dalam Pilpres 2004.
Kala itu, SBY yang menjabat Menko Polhukam Kabinet Gotong Royong Megawati dengan Partai Demokrat yang baru didirikannya berhasil mengalahkan Megawati dengan perolehan suara 60,62 persen berbanding 39,38 persen.
Dua dekade berlalu, pertemuan antara Megawati dan SBY bisa dihitung jari. Mereka hanya bertemu di acara-acara resmi dan itu pun hanya sebatas basa-basi.
"Faktor Jokowi," sambung Haidar.
Dalam pengamatannya, PDIP mungkin menganggap Jokowi sebagai pengkhianat partai.
"Bagi Megawati dan PDIP, semua itu mungkin berbau pengkhianatan. Tapi menurut saya, Jokowi justru berusaha memenuhi salah satu isi perjanjian batu tulis antara Megawati dengan Prabowo," pungkasnya. (raa)