- Istimewa
Aliansi Masyarakat Sipil Minta Kemenkes Setop Pembahasan RPMK 2024 soal Produk Tembakau dan Rokok Elektrik
Jakarta, tvOnenews.com - Aliansi masyarakat sipil meminta Kementerian Kesehatan (Kemenkes) untuk menghentikan pembahasan Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) tentang Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik.
Beleid tersebut diminta dihentikan lantaran dinilai memasung ruang gerak produk tembakau, rokok elektronik dan tata niaga pertembakauan di Indonesia.
Dorongan menghentikan pembahasan RPMK itu disampaikan dalam acara Halaqah Nasional bertajuk 'Telaah Kritis RPMK 2024 tentang Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik'. Dialog itu juga dihadiri narasumber yaitu Ketua PBNU, Miftah Faqih, Wakil Rektor UNUSIA Jakarta Syahriza Syarief, Pakar Hukum Universitas Trisakti Ali Rido, Perwakilan Asosiasi Petani Tembakau Indonesia Kusnasi Muhdi, Anggota DPR RI Misbakhun hingga Perwakilan Kementerian Kesehatan Benget Saragih.
Direktur Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), Sarmidi Husna mengatakan pasal-pasal yang terdapat dalam RPMK 2024 dinilai minim melibatkan partisipasi publik dan sejumlah stakeholder terkait.
Alhasil, peraturan itu pun dinilai tidak partisipatif dan berpotensi untuk merugikan petani tembakau.
"Beberapa pasal dalam RPMK 2024 berpotensi merugikan petani tembakau, UMKM, asosiasi, dan industri rokok. Hal ini menimbulkan reaksi dari berbagai pihak, termasuk penolakan dari beberapa kelompok," kata Sarmidi dalam keterangannya, Rabu (18/9).
Dalam diskusi yang sama, Sudarto, Perwakilan Federasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia-Rokok Tembakau, Makanan dan Minuman (SPSI-RTMM) mengungkapkan penolakan atas RPMK 2024 ini.
Sudarto menilai pertanian tembakau dan tata niaga rokok telah lama ada jauh sebelum Indonesia merdeka.
Lebih dari itu, industri rokok juga dinilainya menyerap banyak tenaga kerja. Ia lantas menyinggung terbitnya Undang-Undang Kesehatan Nomor 2003 dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2004.
Regulasi tembakau itu dinilai terlalu dipaksakan dan sarat kepentingan bisnis sehingga dinilai merugikan.
"Bukan hanya regulasi, industri hasil tembakau dikendalikan melalui kebijakan cukai, industri ditekan dengan kenaikan cukai, sehingga harga rokok semakin mahal, dan tidak aneh jika muncul rokok illegal. Kami mewakili para pekerja, yang memiliki kesetaraan hak di muka hukum dan hak mendapatkan pekerjaan yang layak, kami ingin aspirasi kami didengar," jelas Sudarto.
Desakan itu juga didukung Anggota DPR RI, Muhammad Misbakhun yang menilai regulasi ini dari dampak ekonomi.
Menurut politikus Golkar itu perusahaan raksasa dalam rezim kesehatan internasional menyebabkan bangkrutnya usaha rakyat hingga hilangnya lapangan kerja yang membuat masa depan petani tembakau, cengkeh dan usaha industri hasil tembakau semakin suram.
"Pemerintah sebagai regulator tidak pernah menempatkan diri sebagai fasilitator yang memberikan exit strategy yang solutif bagi ekosistem pertembakauan," kata Misbakhun.
"Saya melihat minimnya partisipasi ini memberikan pengaruh terhadap kondisi ekonomi di masa akan datang," tambahnya.
Menanggapi berbagai dinamika ini, Benget Saragih, Perwakilan dari Kementerian Kesehatan menyampaikan RPMK 2024 itu disusun bukan serta merta untuk meminta masyarakat berhenti merokok.
Peraturan tersebut disasar agar anak-anak yang belum dewasa tidak melakukan aktivitas.
"RPMK 2024 ini tidak dimaksudkan untuk menyuruh orang berhenti merokok, tetapi menyasar anak-anak agar tidak merokok," tutur Benget.
Benget juga membantah rancangan PMK itu yang dinilai minim melibatkan pihak-pihak lain. Sebab, menurutnya beberapa kementerian sudah dalam posisi menolak, namun, Kemenkes tetap ingin mendorong aturan tersebut.
"Soal kealpaan beberapa Kementerian terkait, sebab menilai posisi mereka sudah menolak, sehingga Kemenkes jalan terus," tandas Benget. (dpi)