- ANTARA
Komnas Perempuan Ultimatum Polri Segera Proses Kasus Perampasan Hak Asuh Anak, Putusan MK Terbaru Jadi Acuan
Jakarta, tvOnenews.com - Komnas Perempuan mengultimatum kepolisian republik Indonesia (Polri) agar serius memproses segera kasus perampasan hak asuh anak.
Komisioner Komnas Perempuan Andy Yentriyani, Alimatul Qibtiyah, dan Theresia Iswarini sepakat bahwa proses hukum mesti dijalankan sesuai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang ditetapkan, Kamis (26/9/2024).
“Putusan MK memberikan kejelasan pada tafsir Pasal 330 Ayat (1) KUHP yang menempatkan ayah atau ibu yang melakukan perampasan hak pengasuhan anak yang telah ditetapkan pengadilan sebagai tindakan yang bertentangan dengan hukum,” kata Komisioner Komnas Perempuan, Sabtu (28/9/2024).
Menurut Komnas Perempuan, penyikapan segera dari kasus serupa ini juga perlu menjadi bagian dari kerja Direktorat Tindak Pidana Perempuan dan Anak dan Pidana Perdagangan Orang (DitPPA-PPO) yang baru saja dibentuk.
Pada konteks perkawinan campuran, catat Komnas Perempuan, DitPPA-PPO juga penting melakukan upaya kerja sama dan koordinasi antarnegara mengingat kemungkinan pemindahan anak terjadi hingga ke luar negara.
Komnas Perempuan mengenali hak atas pelindungan hukum saat berakhirnya perkawinan sesungguhnya adalah bagian tidak terpisahkan dari hak atas kesetaraan gender bagi perempuan dalam konteks perkawinan.
Hal ini dapat ditemukan dalam Pasal 16 Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang No. 7 Tahun 1984. Sementara itu, hak atas pelindungan hukum dan hak untuk bebas dari diskriminasi adalah hak yang dilindungi dalam Konstitusi Indonesia.
Dengan demikian, keputusan MK No. 140/PUU-XXI/2023 juga berkontribusi dalam memastikan penyelenggaraan tanggung jawab Konstitusional negara atas hak asasi manusia (HAM).
Putusan MK ini juga memiliki kontribusi pada pemenuhan hak anak atas tumbuh kembang, sebagaimana dijamin dalam UUD 1945.
Hak ini juga tertuang dalam UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang mengamanatkan agar kepentingan terbaik bagi anak menjadi pertimbangan penting dalam soal pengasuhan.
Perampasan hak pengasuhan yang diikuti dengan pemutusan seluruh hubungan komunikasi antara ibu dan anak menyebabkan anak tidak dapat mengakses pengasuhan yang setara pasca perceraian, yang dikhawatirkan berdampak jangka panjang pada pertumbuhan dirinya.
Sebelumnya, lima orang ibu mengajukan uji materi Pasal 330 ayat (1) KUHP yang dinilai menimbulkan ketidakpastian hukum. Aelyn Hakim, Shelvia, Nur, Angelia Susanto, dan Roshan Kaish Sadaranggani mempersoalkan frasa "barang siapa" dalam Pasal tersebut.
Pada Kamis (26/9/2024), MK menolak permohonan para pemohon. Akan tetapi, dalam pertimbangan putusan, MK menegaskan bahwa orang tua kandung yang mengambil anak secara paksa tanpa hak atau izin dapat dipidana sebab tindakan tersebut termasuk dalam Pasal 330 ayat (1) KUHP.
Menurut para pemohon, berdasarkan pengalaman pribadi mereka, frasa “barang siapa” pada pasal dimaksud berpotensi ditafsirkan bahwa ayah atau ibu kandung dari anak tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas tuduhan menculik anak kandung sendiri.
Kelima pemohon merupakan ibu yang bercerai dan memiliki hak asuh anak berdasarkan putusan pengadilan. Namun, mereka tidak lagi dapat bertemu dengan buah hatinya karena sang ayah diduga membawa kabur anak.
Ketika para pemohon melaporkan perbuatan mantan suami ke kepolisian dengan menggunakan Pasal 330 ayat (1) KUHP, laporan mereka tidak diterima ataupun tidak menunjukkan perkembangan dengan alasan yang membawa kabur anak adalah ayah kandungnya sendiri.
Hakim Konstitusi Arief Hidayat mengatakan bahwa seharusnya tidak ada keraguan bagi penegak hukum, khususnya penyidik Polri, untuk menerima setiap laporan berkenaan penerapan Pasal 330 ayat (1) KUHP. Hal ini dikarenakan unsur barang siapa yang secara otomatis dimaksudkan adalah setiap orang atau siapa saja tanpa terkecuali, termasuk dalam hal ini adalah orang tua kandung anak.(ant/lgn)