- Istimewa
Acara Puncak The 6th Indonesia Fintech Summit & Expo, Bulan Fintech Nasional 2024 Singgung soal Tanda Tangan Elektronik
Jakarta, tvOnenews.com – Acara puncak The 6th Indonesia Fintech Summit & Expo (IFSE) resmi digelar pada 12-13 Novemner 2024.
Acara Bulan Fintech Nasional (BFN) 2024 ini mengusung tema "Technology Convergence, Shaping the Future of Finance and Beyond”.
BFN 2024 yang dihadiri lebih dari 3.500 visitors dan 56 exhibitors merupakan acara tahunan yang diselenggarakan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bersama Asosiasi Fintech Indonesia (AFTECH), Asosiasi Fintech Syariah Indonesia (AFSI), dan Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI).
Dalam acara tersebut, terdapat pembahasan mengenai tanda tangan elektronik. Privy menyediakan solusi tanda tangan elektronik yang aman dan efisien sepanjang kegiatan BFN 2024 yang dipusatkan di Jakarta.
Keikutsertaan ini di rangkaian IFSE dan BFN 2024 sebagai bentuk komitmen menjadi bagian dalam sinergi antar pelaku industri di sektor keuangan digital dalam meningkatkan literasi dan inklusi keuangan digital yang aman dan terpercaya.
Pada rangkaian IFSE dan BFN 2024, terdapat beragam acara seperti talkshow dan diskusi interaktif.
Acara tersebut turut dihadiri jajaran anggota dewan komisioner OJK, di antaranya Mahendra Siregar (Ketua Dewan Komisioner OJK), Hasan Fawzi (Kepala Eksekutif Pengawas Inovasi Teknologi Sektor Keuangan, Aset Keuangan Digital, dan Aset Kripto OJK).
Lalu ada Friderica Widyasari Dewi (Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Pelindungan Konsumen OJK), dan Sophia Wattimena (Ketua Dewan Audit OJK).
Mahendra Siregar, Ketua Dewan Komisioner OJK, menyebut bahwa semua ekosistem perekonomian berbasis sektor riil semakin menggunakan teknologi digital inovasi.
Ia juga mengatakan bahwa pada gilirannya memanfaatkan keberadaan dan pengembangan fintech, sehingga menjadi satu ekosistem dan multi-platform yang besar dan mengatur seluruh rantai pasok yang ada di dalam industri.
Menurut Mahendra, keberadaan pengawasan, kebijakan, pengaturan yang dilakukan oleh OJK tentunya yang terbaik.
Di satu sisi, undang-undang menegaskan dukungan pada pengembangan berbasis inovasi, berbasis keuangan digital, berbasiskan teknologi adalah masa depan dari pengembangan sektor keuangan Indonesia.
"OJK berada dalam satu perangkat, dalam satu organisasi regulator, pemangku kebijakan, dan mengatur maupun melakukan pengawasan yang selalu berbasis pada keutamaan pengelolaan tersebut."
"Termasuk juga melakukan tata kelola yang baik (good governance), risk management dan compliance, di mana itu adalah basis dari pengaturan penyusunan kebijakan dan pengawasan yang memang bertanggung jawab dan bisa melihat keseluruhannya secara lengkap dengan kebijaksanaan," jelasnya.
Hal tersebut menjadikan pengembangan fintech di Indonesia berbeda dengan yang lain.
Banyak dari negara lain, meski tidak semua, regulatornya belum bisa ditetapkan secara spesifik, karena ada yang fokus kepada pengembangan teknologi, pengembangan fintech secara spesifik, ada juga yang khawatir dan sangat cemas terhadap isu-isu governance
“Kami semua di OJK sangat kental dengan aspek good governance, risk management dan compliance. Bahkan lebih memberikan zona yang tenang dan berimbang di antara kedua sisi, dengan tentu juga mengutamakan dan menjamin pelayanan maupun perlindungan konsumen,” lanjut Mahendra.
Ia juga menambahkan, “Kami berharap dengan IFSE tahun ini kita memiliki tekad dan pemahaman lebih baik terhadap bagaimana peran signifikan dan strategis dari fintech baik dalam kancah kepentingan perekonomian dan pembangunan nasional maupun bagaimana kita mengelolanya dengan tepat, good governance dan juga compliance, dan di sisi lain supaya tidak memiliki keberpihakan.”
Atas hal tersebut, Privy juga menyelenggarakan panel diskusi pada hari pertama penyelenggaraan IFSE dan BFN 2024, Selasa (12/11).
Diskusi dengan tema “Advanced Fraud Detection for P2P Lending Platform” itu menghadirkan Marshall Pribadi (CEO Privy), Jimmy Muhamad (Komisaris Utama PT Indonesia Fintopia Technology/EASYCASH), Anugrah Pratama (Partner Ernst & Young Parthenon), dan Adief Razali (Kepala Departemen Pengawasan Lembaga Keuangan Mikro dan Lembaga Keuangan Lainnya).
Acara ini dimoderatori oleh Kuseryansyah, Ketua Bidang Hubungan Masyarakat Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI).
Marshall Pribadi, CEO Privy sekaligus Wakil Ketua Umum IV Asosiasi Fintech Indonesia (AFTECH) menyoroti tantangan teknologi di sektor keuangan makin mengkhawatirkan dengan maraknya artificial intelligence (AI).
“Masalah sekarang ini, deepfake video dengan generated AI sudah mengerikan sekali. Perkembangannya sangat smooth sehingga makin lama deepfake protection juga akan kewalahan menghadapi deepfake AI hasil video yang sangat mulus,” ungkap Marshall.
Saat ini, kata Marshall, hanya dengan bermodal foto KTP kita yang sudah beredar, dengan deepfake video tadi, kesempatannya cukup besar data pribadi kita disalahgunakan untuk membuka satu akun sebagai borrower di suatu platform.
“Solusi yang diperlukan adalah user-centric digital identity, di mana untuk membuka akun - bukan hanya bermodalkan foto KTP, tapi harus memiliki identitas digital berbasis elektronik,” jelasnya.
Marshall menambahkan, dengan identitas digital berbasis user-centric, apabila pengguna tercatat melakukan fraud di salah satu platform P2P dan mencoba untuk membuka akun di platform keuangan lainnya, maka catatan fraud-nya akan bisa terdeteksi.
Fraudster itu, Marshall menjelaskan, adalah sindikat terorganisir dan bekerja sama dengan federated digital identity neutral third party, segala attempt fraud yang bukan hanya menyerang satu platform, melainkan alamat email, nomor ponsel, dan lainnya bisa diagregasi sehingga mencegah terjadinya fraud.
Apabila tidak diberi efek jera, para fraudster akan terus mencoba untuk melakukan tindak kejahatan.
Efek jera yang paling sederhana adalah dengan memakai tanda tangan tersertifikasi, di mana UU ITE mengamanatkan sertifikat elektronik ini juga berfungsi sebagai identitas digital.
“Salah satu efek jera yang dapat dilakukan yaitu membekukan identitas digital pelaku sehingga tidak dapat membuka akun di platfrom keuangan digital lainnya,” tutup Marshall.